Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau
Suku bangsa Minangkabau memiliki sistem yang unik untuk menghasilkan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal adalah sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini dilahirkan dari salah satu entitas yaitu surau. Surau adalah bagian dari sistem adat dan sampai sekarang identik dengan sarana pendidikan terutama pada bidang agama. Sejarawan Azyumardi Azra menyebutkan bahwa Surau menjadi semacam asrama anak-anak muda, menjadi tempat belajar mengaji Al Qur’an, belajar agama, tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama, tempat suluk, tempat berkumpul dan rapat, tempat penginapan musafir, berkasidah/ bergambus, dan lainnya. Kalau dilihat secara umum, sistem Surau memiliki kesamaan dengan pondok pesantren pada masyarakat di Jawa, yaitu sebagai wadah pendidikan Islam dan tidak meninggalkan unsur kebudayaan. Namun juga terdapat perbedaan yang menjadikan surau sebagai bentuk kearifan lokal Minangkabau.
Salah satu bentuk kearifan lokal dari Surau adalah Orang Siak. Kalau peserta didik pesantren di Jawa disebut dengan santri, maka di ranah Minang disebut dengan Orang Siak. Pemahaman orang siak terbagi kepada dua makna, yaitu orang yang berasal dari Siak, Riau dan orang siak yang aktivitasnya berada di lingkungan Surau dan mendalami ajaran Islam. Pada pengertian pertama kita juga akan mendapat pandangan sejarah, bahwa nama Siak di Riau juga berkaitan dengan jalur perkembangan Islam di tanah Melayu dan Minangkabau. Namun pada pembahasan kali ini berfokus kepada orang siak pada pemahaman kedua, sejarah orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk mendalami ajaran Islam dalam naungan institusi Surau.
Orang Siak Dalam Rentang Sejarah Surau
Dalam perkembangan masyarakat Minang di era disrupsi ini, mungkin kita sudah jarang menemui sosok orang siak. Kalaupun ada, orang siak hanya akan terlihat eksistensinya dalam acara-acara tertentu bidang keagamaan. Keberadaan orang siak memang sudah tidak lagi menjadi corak masyarakat Minang. Majunya zaman dan berkembangnya pendidikan modern, keberadaan orang siak menjadi jarang ditemui.
Buya Hamka menyebutkan beberapa pengertian orang yang berkelindan dalam tradisi surau di Minangkabau. Pertama, orang siak adalah orang yang dianggap ahli dalam agama Islam, bisa juga diartikan sebagai lebai-lebai atau marbot masjid. Kedua, orang siak di tanah Melayu disebut sebagai pengurus-pengurus harian masjid, orang yang ditugaskan mengurus, memandikan, dan menyembahyangkan jenazah.
Lebih mendetail dari profil orang Siak bisa kita temui dalam buku Prof. Azyumardi Azra "Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Modernisasi. Kedatangan ajaran Islam di ranah Minang, membentuk institusi surau yang sudah ada sebelumnya pada periode Hindu-Budha. Surau yang menjadi sentral pengajaran Islam dan orang siak adalah peserta didiknya. Dalam adat Minang, pemuda yang sudah akil baligh mengharuskan mereka untuk mendalami Islam dan inilah yang menjadi landasan berkembangnya orang siak. Tidak ada pembatasan umur untuk orang siak belajar di surau, lamanya belajar di surau tergantung kemampuan dan penguasaan masing-masing.
Untuk melihat model pemenuhan kebutuhan pokok orang siak ini, kita bisa menilik ke surau gadang (besar) yang didirikan oleh kakek Bung Hatta, Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh. Selama mendalami Islam di Surau, orang siak tidak dipungut biaya, kalaupun ada merupakan inisiatif dan kerelaan dari pihak keluarga kepada pengurus surau. Penopang biaya hidup orang siak berasal dari masyarakat dengan dekat dengan surau. Prof. Azyumardi Azra memaparkan bahwa di Payakumbuh masyarakat menyuplai bahan makanan kebutuhan pokok untuk orang siak yang ada di Surau Syekh Abdurrahman. Bagi masyarakat, gotong royong ini sebagai bentuk sedekah di mana mereka akan mendapatkan timbal balik berupa pengajaran Islam serta proses peribadatan yang dilakoni oleh orang siak atau pengurus surau. Selain mendapatkan suplai makanan dari masyarakat sekitar surau, orang siak juga punya aktivitas keluar surau untuk mengumpulkan bahan pokok dengan membawa buntil (semacam kantong terigu yang diisi beras).
Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau (1)
Surau Gadang Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Lima Puluh Kota Salsah Satu Surau Tempat Belajar Orang Siak di Minangkabau.
Pada perkembangannya, orang siak tidak hanya berasal dari pemuda dari suatu kaum. Tradisi merantau juga menyebabkan orang siak datang dari berbagai daerah lain. Melalui orang siak, ranah Minang mengalami periode islamisasi. Keberadaan orang siak juga menjadi petunjuk bagi kita yang ada di era modern ini terkait dengan sistem pendidikan dan arus islamisasi di ranah Minang. Untuk mendalami ajaran Islam dengan pendekatan tasawuf, orang siak menjalankan metode belajar yang relatif lebih sederhana berupa: ceramah dan resitasi melingkar (halaqah). Materi belajar ditentukan syaikh yang menyesuaikan dengan umur dan kemampuan masing-masing orang siak. Pelajaran tingkat dasar: membaca Al-Qur’an dengan qira’at, ibadah, dasar ilmu tauhid. Untuk orang siak dewasa, materi belajar: tasawuf dan tarekat (Azyumardi Azra: 2003).
Pada mulanya metode belajar di surau hanya diampu oleh seorang syaikh. Tetapi dengan bertambah banyaknya orang siak, syaikh kemudian mengangkat beberapa guru tuo (guru senior). Tugasnya: memberikan penjelasan lebih rinci dari materi dan bertugas mengawasi orang siak dalam menghafal pelajaran. Dengan banyaknya peminat dan orang siak yang lebih senior ditunjuk menjadi guru senior maka kondisi ini turut memperbesar organisasi surau. Semakin besarnya organisasi ini berdampak kepada terciptanya lingkungan seperti kawasan pendidikan dalam sebuah kampung atau nagari. Christine Dobbin menyebutkan surau besar umumnya memiliki paling sedikit 20 bangunan dan dibagi berdasarkan daerah asal mereka. Hal ini tercermin di komplek Surau Besar Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh (Azyumardi Azra: 2003).
Surau dan Orang Siak Hari Ini
Sistem pendidikan surau yang relatif lebih sederhana berhasil mengislamisasi Minangkabau dengan pendekatan tasawuf dan orang siak hadir sebagai motor islamisasi ini. Namun sistem ini mengalami transformasi karena dinamika yang terjadi di ranah Minang. Masuknya kolonialisme yang membawa pendidikan barat, terbukanya akses dengan Arab di mana sedang bangkit gelombang pemurnian Islam membawa dampak terhadap eksistensi surau.
Secara perlahan, pengaruh dari luar ini menimbulkan perbenturan seperti konflik kaum adat dan kaum paderi atau munculnya sekolah dengan sistem Eropa. Dalam dinamika ini, kemudian juga muncul sekolah Islam dengan mengadaptasi konsep sekolah Eropa seperti adanya kurikulum dan ditambahkannya mata pelajaran sains yang memang menjadi semangat pendidikan di Eropa. Perubahan ini berdampak juga kepada eksistensi dan peran orang siak yang tidak lagi memiliki peran sentral seperti sebelumnya.
Hingga hari ini, secara riil di ranah Minang orang siak bukan lagi menjadi pemandangan umum. Keberadaannya bisa dikatakan masih ada, tetapi tergerus oleh kemajuan zaman. Dalam lingkungan masyarakat Minang juga terjadi perubahan orientasi, lembaga pendidikan modern lebih mendapatkan tempat untuk membentuk manusia Minang sebagai upaya menjawab tantangan zaman. Walaupun demikian, secara etis surau tidak bisa dihilangkan begitu saja, pun dengan keberadaan orang siak. Ranah Minang harus merawat nilai-nilai surau dan menyelaraskannya dengan gerak maju zaman.
0 komentar: