Pertumbuhan Pesantren di Nusantara
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Di pesantren, para santri atau murid tinggal bersama kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks tertentu sehingga tercipta ciri khas kehidupan pesantren seperti hubungan yang akrab antara kiai dan santri, santri taat kepada kiai, kehidupan yang mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dalam suasana yang penuh persaudaraan, dan hidup disiplin.
Ada yang mengatakan asal mula pesantren di Indonesia merupakan bagian dari tradisi Islam, dan ada yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia awalnya diadakan oleh orang-orang Hindu.
Keberadaan pesantren di Indonesia pertama kali ditemukan pada karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centhini yang berasal dari abad ke-16. dari sumber inilah diketahui bahwa pesantren mengajarkan berbagai kitab islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf, serta menjadi pusat penyiaran agama islam. Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984-1985, jumlah pesantren di abad ke-16 sebanyak 613 buah.
Menurut laporan Pemerintah Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 183 di Indonesia terdapat 1.863 lembaga pendidikan Islam tradisional.Van den Berg mengadakan penelitian di tahun 1885 dan hasilnya terdapat 14.929 lembaga pendidikan Islam dengan 300 di antaranya merupakan pesantren.
Pesantren terus berkembang baik dari segi jumlah, materi, maupun sistem. Di tahun 1910 beberapa pesantren seperti Pesantren Denanyar, Jombang, membuka pondok khusus untuk santri wanita.
Di tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur seperti Pesantren Tebuireng, dan Pesantren Singosari mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah.
Pada masa penjajahan Belanda, pesantren berkembang dengan pesat. Pesantren ini ada yang memiliki kekhususan sehingga berbeda dengan pesantren lainnya. Ada yang khusus mengajarkan ilmu hadis dan fikih, ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, tasawuf, dan lain-lain.
Kemudian pesantren memasukkan sistem madrasah. Dalam sistem ini jenjang-jenjang pendudukan terbagi menjadi ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliah. Sistem madrasah ini mendorong perkembangan pesantren sehingga jumlahnya meningkat pesat.Pada tahun 1958/1959 lahir Madrasah Wajib Belajar yang memiliki hak dan kewajiban seperti sekolah negeri.
Selanjutnya, di tahun 1965, berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta, disepakati perlunya memasukkan pelajaran keterampilan seperti pertanian, pertukangan, dan lain-lain di pondok pesantren.
Pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan pembinaan terhadap pesantren melalui Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, dari pemerintahan pusat hingga daerah.
Tahun 1975, muncul gagasan untuk mengembangkan pondok pesantren dengan model baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Center, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Akan tetapi pondok pesantren ini mengalami kesulitan dalam pembinaan karena tidak adanya kiai yang karismatik yang bisa memberi bimbingan dan teladan pada santrinya.
Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 03 tahun 1975, menetapkan mata pelajaran umum sekurang-kurangnya sebanyak 70 persen dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti pesantren AS-Syafi’iyah dan pesantren at-Tahiriyah.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/qdx3kd430
0 komentar: