Kaum muslim menang dalam Perang Badar. Banyak para pemimpin kaum Quraisy yang terbunuh pada perang ini, termasuk Abu Jahal. Selain itu, kaum muslim juga menawan tujuh puluh orang Quraisy, kebanyakan para pemimpin dan orang berpengaruh. Umar ibn al-Khathab
termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para tawanan perang ini. Tetapi, para tawanan tersebut masih ingin hidup dengan jalan penebusan. Oleh karenanya, mereka mengutus seseorang kepada Abu Bakar agar membicarakan hal ini dengan Rasulullah.
"Ia kerabat kita. Orang Quraisy paling lembut dan punya belas-kasihan tinggi. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih daripada dia," ujar mereka. Utusan itu berkata kepada Umar, "Wahai Abu Bakar, di antara kita ada yang masih menjadi ayah, saudara, paman, atau saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami."
Abu Bakar berjanji akan mengusahakannya. Namun, mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan. Mereka lalu mengutus orang kepada Umar dengan pesan yang sama seperti kepada Abu Bakar. Tentu saja, Umar menatap mereka penuh curiga. Akhirnya, kedua sahabat besar ini menemui Nabi.
Abu Bakar menemui Rasul dengan permintaan agar Rasul bermurah hati kepada para tawanan perang itu atau menerima tebusan mereka. Akan tetapi, Umar tidak setuju dan tetap keras. "Ya Rasulullah," katanya, "mereka musuh-musuh Allah. Dulu mereka mendustakan, memerangi, dan mengusir engkau. Penggal saja leher mereka Mereka biang orang-orang kafir, pemuka-pemuka orang sesat. Orang-orang musyrik itu sudah dihinakan Tuhan. Rasulullah tidak merespons keduanya, beliau lalu pergi menuju rumah. Beliau tinggal sejenak di sana, dan kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung ide Abu Bakar, dan yang lain memihak Umar.
Rasul mengajak mereka bermusyawarah. Rasul membuat suatu perumpamaan tentang Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar seperti Mikail, malaikat yang memiliki sifat pemaaf kepada hamba-Nya. Dari kalangan Nabi seperti Ibrahim dan Isa. Sedang Umar seperti Jibril, malaikat yang membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh-Nya. Di lingkungan para Nabi, ia seperti Nuh dan Musa.
Kaum muslim pun berunding dan akhirnya memutuskan bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Tetapi, tidak lama setelah itu, turun wahyu kepada Rasul, "Tidak pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuh nya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk mu). Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (al-Anfal [8]: 67).
Selang beberapa waktu, datang Mikraj ibn Hafs hendak menebus Suhail ibn Amr yang tertawan oleh kaum muslim dalam Perang Badar. Suhail ini seorang orator ulung. Melihat Mikraj melakukan tebusan, cepat-cepat Umar menemui Rasulullah. Umar rupanya keberatan kalau orang itu lolos tanpa mendapat suatu pelajaran. Oleh karenanya, ia berkata kepada Rasul, "Ya Rasulullah, izinkan aku mencabut dua gigi seri Suhail ibn Amr ini agar lidahnya menjulur keluar dan ia tidak dapat lagi berpidato mencerca Anda di mana-mana.
Akan tetapi, Rasulullah menjawab, "Aku tidak akan memperlakukannya secara kejam supaya Allah tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang
Nabi."
Ucapan Umar itu menunjukkan kegigihannya mengenai pendapatnya untuk tidak membiarkan para tawanan yang berkemampuan kembali mengadakan perlawanan kepada kaum muslim. Dan, wahyu turun memperkuat pendapat Umar mengenai para tawanan perang. Hal ini membuat Umar makin dekat di hati Nabi.
Sumber:
The Great of Two Umars, Fuad Abdurahman, Zaman
0 komentar: