Derajat Kemarahan Manusia
Buku: Akhlakul Karimah
Pengarang: Buya Hamka
Kekuatan marah dalam hati apabila darah hati mendidih panas dan berlebih dari jangkanya, kemudian mengalir ke dalam segenap urat dan darah. Jika tiba di mata, memerahlah mata, tiba di kuping, merah jua kuping, di tangan menjadi tinju, tiba di kaki jadi sepak, dan tiba dimulut menjadi caci maki. Tidak berbeda dengan mendidihnya air yang sedang dimasak, apabila tidak lekas dibuka tutup periuk yang sedang terjerang itu.
Di waktu yang seperti itu, terbagilah derajat manusia kepada tiga bagian di dalam mengendalikan kemarahan hatinya. Ada yang keterlaluan marah, ada yang dingin sekali nafsu marahnya, dan ada yang pertengahan.
Di dalam agama atau dalam pergaulan manusia tidak diperbolehkan menghabiskan rasa marah itu sama sekali. Apabila suatu bangsa, kaum, atau pemeluk agama tidak memiliki perasaan marah, niscaya berleluasa orang lain merusak binasakan anak turunan, sawah, ladang, dan harta benda.
Apabila kita tidak memiliki marah, tentu tidak ada lagi perasaan tanggung jawab, atau perasaan berjihad membela agama.
Kedua ialah moral yang melampaui batas yang membuat orang lepas kendali, menghantam dan memaki-maki orang lain tanpa memikirkan akibat lebih jauh. Moral seperti itu pertanda orang tersebut telah jatuh ke bawah pengaruh setan, sebagaimana terlihat pada wajah orang itu berwarna merah padam dan kadang kadang keluar air seleranya yang berbuih-buih.
Tidak jarang kita lihat orang yang sedang marah berbicara dengan menggebrak meja, mematahkan pensil, memecah botol tinta, dan menyobek kertas saat dia berada di kantor. Lebih celaka lagi apabila ia marah pada istri dan anak-anaknya. Tanpa disadari, tangan dan kaki ikut bicara sehingga membekas atau melukai anak dan istri yang tak berdaya. Kelak setelah marahnya reda, timbul rasa sesal, kemudian dia membujuk istri, meminta maaf, dan berjanji tidak akan mengulang perbuatan seperti itu. Namun, apabila marahnya timbul kembali, hal itu ia lakukan lagi.
Penulis pernah menyaksikan orang pemarah seperti itu, ringan tangan, dan suka memaki-maki. Akan tetapi, ia cepat menyesal. Dia menyesal karena telah menyakiti istri kemudian sebagai balasan justru ia memukul dirinya sendiri, persis seperti yang ia lakukan terhadap istrinya.
Seandainya pada waktu itu orang tersebut dihadapkan ke muka kaca, mungkin ia tak mengenal lagi wajah nya atau mungkin dia merasa melihat hantu. Jika yang membayang pada wajah sudah sedemikian buruk, niscaya gambaran batin di balik wajah itu lebih buruk lagi.
Sekali kita mengalami moral yang tak terkendali seperti itu, bisa berubah wajah seperti hantu, bisa di bayangkan betapa buruknya wajah orang yang pemarah. Wajah seperti itu selalu kelihatan kusut bahkan menakutkan. Dengan demikian budi yang kasar dan sifat pemarah sesungguhnya bisa membentuk wajah seseorang, misalnya kaum perempuan yang hatinya busuk, berbudi kasar, dan memiliki sifat pemarah yang tak terkendalikan, betapa pun dia berusaha me-make up wajahnya dengan bedak, gincu, dan wangi-wangian semuanya tak akan menolong.
Sebaliknya orang yang berbudi luhur, pandai mengendalikan diri, dan tidak cepat marah senantiasa menarik simpati karena wajahnya yang selalu tampak dihias meski tidak memakai bedak dan gincu.
Lidah orang yang suka marah selalu keluar ucapan-ucapan kotor, caci maki yang orang lain malu mendengarnya. Seperti pepatah orang Melayu, "Ayam tidak kuat mencotoknya, itik tidak suka menyudunya." Selain lidah yang mengeluarkan kata-kata keji, kemarahan yang tak terkendalikan bisa menggerakkan tangan untuk meninju, kaki untuk menendang, dan membuat orang berkelahi seperti binatang yang bisa saling membunuh.
Jika sifat seperti itu terjadi pada anak-anak, mungkin bisa dimaafkan karena orang menganggap akal anak-anak memang masih singkat. Akan tetapi, apabila mengenai orang dewasa, apalagi orang tua akibatnya akan besar sekali sehingga sulit dimaafkan.
Kerap kali kejadian orang yang mengalami kemarahan seperti itu menyadari kesalahannya, kemudian dia merasa malu pada orang lain yang menyaksikan. Apabila ada kesadaran seperti itu menandakan bahwa ia masih mempunyai budi baik dalam dirinya. Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan ia marah dan lupa diri sehingga dipengaruhi oleh setan. Oleh sebab itu, apabila menerima suatu kejadian yang menyakitkan hati dan dapat menimbulkan amarah, hendaklah berusaha tenang dan ingat pada Allah SWT dan membaca istighfar.
Sesungguhnya sifat pemarah, apabila ia mau, masih bisa diubah dan diperbaiki. Akan tetapi, apabila orang tetap menurutkan nafsu, membiarkan dirinya tidak mau sadar dan minta ampun pada Allah SWT, pada hakikatnya orang itu tidak bisa digolongkan lagi sebagai manusia, derajat nya sudah turun menjadi binatang. Di tengah pergaulan dengan masyarakat, orang seperti ini pun biasanya akan tersisih, entah dia sendiri yang lebih suka menyendiri atau orang lain yang enggan mendekat padanya. Apa bila dia berbicara, orang lain hanya diam, tidak mendengar, pura-pura mengiyakan, atau karena menganggap tidak ada gunanya untuk dilayani.
Demikian sifat marah yang bersumber dari penyakit hati, ia bisa merusak diri, menjatuhkan martabat manusia menjadi binatang, dan merusak pergaulan dalam masyarakat.
Lebih jauh penyakit itu menyuburkan perasaan benci, dengki, dan dendam. Pandangan menjadi sempit dan tak ada lagi yang bagus dalam pandangan mata. Segala sifat-sifat itu membayang pada wajah sehingga menimbulkan rasa takut orang yang melihatnya.
Oleh sebab itu, setiap orang wajib memelihara diri dari godaan atau sifat pemarah. Marah adalah tabiat manusia, seperti sifat-sifat lain, ia tidak bisa hilang atau tidak perlu dihilangkan sama sekali dari diri manusia. Setiap manusia pasti marah apabila disakiti atau harga dirinya dijatuhkan apalagi jika agama dan keyakinannya dihina.
Orang tidak marah dan membiarkan dirinya dihina bukan berarti pandai mengendalikan diri, tetapi adalah orang yang dayus alias impoten. Walhasil, jagalah diri ini supaya tidak kehilangan kendali, jangan sampai sifat marah yang berada dalam diri kita keluar dari garisnya. Sifat marah yang ada dalam diri itu hendaklah dapat dipelihara untuk menjaga martabat dan agama dari penghinaan orang lain.
0 komentar: