Signiftkansi Hikayat dalam Peradaban Islam Nusantara
https://www.google.com/amp/s/www.laduni.id/post/amp/55664/hikayat-dalam-peradaban-islam-nusantara
Menurut Mardiah Mawar Kembaren, (2011: 1) hasil-hasil kesusastraan Melayu tradisional termasuk hikayat telah lama digunakan oleh peneliti asing dan peneliti lokal sebagai sumber penulisan sejarah. Beberapa sumber penulisan sejarah yang sering menjadi tumpuan para peneliti seperti Hikayat Raja- Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Patani, Hikayat Siak dan sebagainya.
Hal ini dikarenakan pada umumnya karya sastra bercorak sejarah mengandung sumber informasi masa lalu yang mempunyai nilai sejarah untuk mengetahui budaya masyarakat Melayu dan melihat lebih dekat silsilah-keturunan, falsafah serta pemikiran masyarakat Melayu. Ketertarikan terhadap beberapa hal tersebut menjadikan karya sastra sejarah lebih banyak diminati oleh para peneliti (Hashim, 1992: 15).
Karya-karya tersebut juga kaya dengan rekaman peristiwa heroik tentang spirit nasionalisme masyarakat Melayu. Sehingga karya-karya dalam historiografi Melayu, termasuk hikayat, sejatinya telah membangun sebuah peradaban Islam khas Nusantara dengan segala lika-liku perjalanan sejarah. Hal ini terlihat melalui beberapa karya sastra sejarah yang mengisahkan tentang etnik pribumi Melayu yang berjuang menentang musuh (pihakpenjajah) demi mempertahankan tanah air mereka.
Pengalaman berabad-abad lamanya dikuasai penjajah menyediakan satu ruang dan kesempatan kepada penulis- penulis masa silam untuk membangkitkan kesadaran kepada generasi mendatang tentang sejarah perjuangan leluhur mereka. Penentangan tersebut tumbuh sebagai bentuk sikap mencintai tanah air ataupun semangat kebanggaan terhadap bangsanya.
Nasionalisme tersebut lahir dan bangkit sejak kedatangan kaum kolonial di Nusantara yang berawal dari kedatangan Portugis (seperti yang terangkum dalam Sulalatus Salatin), diikuti Belanda, Spanyol dan Inggris. Kekuasaan kaum kolonial dan imperialis telah melahirkan konflik yang berkepanjangan antara pihak penjajah dengan masyarakat pribumi. Peperangan menjadi jalan akhir, titik puncak dari respons masyarakat pribumi terhadap pengaruh asing yang akhirnya membawa implikasi besar bagi kedua belah pihak.
Semangat penentangan masyarakat pribumi terhadap pihak Portugis di Nusantara turut menjadi cerita-cerita lisan yang terekam dalam penulisan sejarah di wilayah-wilayah yang menjadi basis kekuasaannya. Di antaranya yakni Hikayat Anggun Cik Tunggal, Hikayat Malim Dewa dan Cerita Bongsu Pinang Peribut (Zubir Idris, 2011: 109).
Menurut Hamka (1963: 106-108), cerita- cerita lisan seperti “Anggun Cik Tunggal” (di Minangkabau dikenal dengan “Nan Tonggal Megat Djebang”), ditulis untuk menunjukkan kekejaman yang telah dilakukan oleh kolonial Barat (Portugis). Dengan menggunakan kata yang penuh kiasan dan sindiran, cerita ini disebarkan dari mulut ke mulut, tentang bagaimana buruk dan kejinya bangsa yang menjajah negeri Melayu. Melalui cerita- cerita seperti “Anggun Cik Tunggal,” segala kekejaman orang Barat (Portugis) dapat diperlihatkan sebagaimana kutipan dibawah ini.
“Demikianlah, apabila bangsa kita telah merasa lemah, tidak dapat melawan lagi, mereka buat cerita. Di dalam cerita itu diisikanlah sindiran dan rasa benci kepada musuh, dihinakan dan ditunjukkan kejahatannya, sehingga anak cucu mengerti, dan pada suatu masa kelak, ‘malu yang tercoreng di kening’ itu akan dapat dihapuskan juga dengan kedatangan Nan Tonggal.”
Dalam penulisan sastra sejarah atau karya historiografi, setelah penjajah datang ke Nusantara, kebanyakan karya-karya tersebut ditulis kembali karena permintaan pihak penjajah sendiri selain faktor hubungan baik antara penulis dengan penjajah yang juga mendorong lahirnya pusat penerbitan. Beberapa karya yang diterbitkan oleh pihak penjajah contohnya karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas diterbitkan oleh majalah TBG 2 Betavia. Begitu juga karyanya yang lain yakni Mukhtasar Syariat al-Islam dan Taj al-Salatin (Bt Zakaria, 2011: 5). Menurut
Denisova (2008: 132-134) hal ini berimbas pada karakter para orientalis yang meneliti sejarah Islam Nusantara umumnya mengawali penelitian dengan tradisi-tradisi lama (sebelum Islam) termasuk dalam kebudayaan, sejarah dan adat-istiadat Hindu-Buddha sebagai subjek kajiannya. Menurut Denisova (2008), salah satu penyebabnya adalah ‘euro- centrism’ dan sikap apatis terhadap peran Islam di Nusantara. Biasanya para orientalis menganggap Islam sebagai faktor negatif dalam proses perkembangan Islam di Nusantara.
Para orientalis terlebih yang berpihak pada kolonialis enggan memperhatikan bahwa Islam memajukan peradaban masyarakat di Nusantara. Mereka juga tidak jeli dalam memperhatikan pengaruh Islam dalam mengembangkan kebudayaan dan pemikiran termasuk dalam hal keilmuan, filosofi dan bahasa. “Euro-centrism” bermakna penelitian maupun kajian mengenai Nusantara dilihat dari sudut pandang orang Eropa. Misalnya E. Netscher, seorang ilmuwan dan pegawai kolonial Belanda di Riau, dalam bukunya De Netherlanders in Johor Siak (Orang Belanda di Johor dan Siak) menyatakan bahwa sejarah negeri-negeri Melayu hanya sebagai sejarah orang Eropa di dalamnya.
Netscher tidak memperhatikan sejarah orang-orang Melayu sendiri. Penjajahan di Nusantara oleh orang- orang Eropa mengabaikan warisan umat muslim Nusantara. Orang-orang Eropa tidak memahami secara mendalam sejarah Islam di Nusantara. Hal ini karena Muslim di Nusantara selalu dianggap oleh orang Eropa sebagai pesaing yang dalam perjuangannya untuk memonopoli perdagangan di Asia Tenggara.
Menurut Abdul Haris Nasution (1963: 37): “…tidak perlu heran bahwa Islam dalam alam Melayu belum dipelajari lagi secara sepatutnya. Selama penjajahan Eropah yang berlangsung selama 350 tahun itu, pemerintah kolonial selalu berusaha untuk mengaibkan Islam dan umat Islam, menganggap orang Muslim sebagai golongan masyarakat yang paling mundur”.
Persepsi negatif dan sikap prejudis para orientalis jelas tidak membawa kemajuan dalam perkembangan Islam di Nusantara terutama dalam bidang sejarah masuknya Islam di Nusantara, cara penyebaran Islam di Nusantara dan aliran umat Islam di Nusantara. Selain itu, tulisan-tulisan para orientalis itu justru mendorong beberapa prasangka atau “mitos” tentang Islam Nusantara dan warisan sejarah Islam Nusantara (Denisova, 2008: 132- 134).
Semestinya sudah menjadi bukti bahwa warisan sejarah Islam Nusantara seperti Hikayat Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Siak, Sejarah Melayu, Tuhfat an-Nafis, Peringatan Sejarah Negri Johor dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa khazanah ini merupakan sumber-sumber sejarah yang sangat penting dalam literatur Islam di Nusantara. Tetapi bagi sebagian para orientalis Barat, hasil penulisan sejarah lokal sering dianggap sebagai sumber- sumber yang bukan bersejarah dan tidak bisa dijadikan sebagai rujukan penulisan sejarah (Denisova, 2008: 135)
Sumber-sumber sejarah Islam Nusantara pada kurun abad 14 sampai abad 19 dalam bentuk hikayat, babad atau chronicles atau annals biasanya ditulis oleh para pengarang atas titah sultan, untuk mengagungkan atau untuk mempromosikan kepentingan dan pemikiran keluarga istana sehingga terdapat unsur mitologi. Namun setiap informasi yang ada dalam karya-karya tersebut jika dikaji secara kritis dan terperinci ada jejak fakta- fakta sejarah yang bisa ditemukan. Sehingga sebagai rujukan dalam setiap kajian ilmiah teks-teks tersebut memiliki nilai sejarah dan dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk mengkaji sejarah dan peradaban Islam di Nusantara (Denisova, 2008: 136). (Arik Dwijayanto & Dawam Multazam). [Dawam Multazam]
0 komentar: