Rupa-Rupa Tanah dalam Alquran, Apa Saja Tafsirannya?
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/pzj86y320
“Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.’’ (QS 22:5)
Dalam Kitab Suci Alquran, ungkapan mengenai tanah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk kata dan makna. Tanah disebut dengan turab, ath-thiin, dan al-ardh. Kemudian, arti tanah pun meluas sesuai konteksnya.
Misalnya, sholshoolin, yakni tanah liat kering berkaitan dengan penciptaan manusia. Sha’idan juruza, yakni tanah tandus sebagai ujian terhadap manusia. Sha’idan zalaqaa, yakni tanah yang licin karena basah disirami hujan.
Sha’idan thayyiba, yakni tanah yang suci untuk bertayamum. Ada pula tanah suci yang dihormati di muka bumi yang disebut haroman aaminan, termasuk kesucian Palestina yang disebut al-ardhal muqaddasah.
Tanah adalah asal manusia dan kelak akan menjadi tanah. Setelah manusia mati dan menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali. Kelak, orang kafir akan menyesal dan ingin menjadi tanah lagi. Tanah sering kali dikaitkan dengan air hujan.
Banyak ayat yang menjelaskan hujan yang membasahi bumi dan kebun-kebun. Hujan turun ke bumi yang kering (mati), lalu Allah menyiraminya, kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan. Ini diumpakan kebangkitan manusia pada hari akhir.
Dalam Riyaadush-Shalihiin karya Imam Nawawi, diriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadaku, seperti hujan yang membasahi permukaan bumi.’’ (HR Muttafaq alaih).
Dalam hadis ini, ada tiga jenis tanah. Pertama, tanah yang subur. Kelompok ini disebut Nabi dengan naqiyyatun qobilat lil maa-i fa anbatatil kala-a wa al’usyba al-katsiir (tanah subur yang bisa menyerap air, sehingga menumbuhkan banyak tumbuhan dan rerumputan).
Ketika musim kemarau datang, lalu langit mendung dan hujan turun menyerap ke dalam tanah. Bibit tanaman tumbuh subur dan berbuah. Tanah yang seperti ini ibarat orang beriman dan bertakwa kepada Allah yang senantiasa membuka hati dan pikiran menerima ilmu dan hikmah.
“Kelebihan orang ‘alim (berilmu) daripada ’aabid (ahli ibadah yang tak berilmu), seperti kelebihanku atas orang paling rendah di antara kalian. Allah, malaikat, penghuni langit dan bumi, sampai semut dan ikan selalu meminta rahmat ke orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.’’ (HR Turmuzi).
Kedua, tanah yang gersang. Kelompok kedua ini, tanah gersang namun masih bisa menyimpan cadangan air untuk diminum, mengairi lahan pertanian, dan bercocok tanam. Nabi menyebut kelompok ini sebagai orang yang tidak bisa mengangkat kepalanya.
Maknanya, mereka mengabaikan ilmu dan hidayah yang sudah diterimanya. Mereka orang-orang berilmu pengetahuan, tapi tidak mengajarkan dan mengamalkannya dengan baik. Mereka tahu kebenaran dan kebaikan, tapi hanya menyampaikan ke orang lain.
Mereka mengajak orang berbuat baik, tapi tidak melakukannya dan berkata, tapi tak berbuat. Pepatah mengatakan, ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tak berbuah. Kelompok manusia seperti ini adalah orang fasik.
Ketiga, tanah yang tandus. Jenis tanah ini sama sekali tak bisa menyimpan air dan menumbuhkan tanaman. Tanah jenis ketiga diibaratkan orang yang tak mau menerima hidayah. Mereka tidak mau belajar, meminta, dan menerima nasihat, apalagi memberi manfaat.
Ibarat tanah, ia tandus dan berbatu tak bisa ditanami, tak mengandung air untuk dijadikan sumur. Ia hanya hamparan tanah kosong yang tandus dan tak disenangi manusia. Lahirnya manusia hidup, tapi seperti mayat berjalan.
Mereka tidak memberi manfaat bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Kehadirannya hanya menjadi beban dan ganjalan. Merekalah orang-orang kafir dan munafik. Allahu a’lam bish-shawab.
0 komentar: