Kebijaksanaan Dari Ilmu Fiqh
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Kiyai Abdullah Syafii pernah menegur santrinya yang tidak belajar dengan alasan lemas karena puasa sunah. Oleh sang Kiyai, puasanya disuruh dibatalkan agar bisa bisa belajar. Karena belajar itu wajib, sedang puasa itu sunah. Jangan menggugurkan yang wajib demi membela yang sunah. Inilah kepahaman atas ushul fiqh. Inilah kepahaman atas fiqh prioritas yang sering diabaikan.
Ali Bin Abi Thalib, melihat sebuah fenomena di masjid. Ada dua kumpulan manusia. Satu kumpulan yang sedang berzikir. Satu kumpulan yang sedang belajar. Lalu Imam Ali, memerintahkan yang sedang berzikir untuk berpindah ke kumpulan orang yang sedang belajar. Zikir itu ibadah sunah. Belajar itu wajib. Begitulah menahami prioritas dalam beramal.
Ulama mengklasifikasikan tingkatan amal. Mengklasifikasikan tingkatan kebaikan dan keburukan. Tingkatan kebaikan, fardhu kifayah, fardhu ain, sunah muakadah dan sunah. Mengapa kebaikan perlu dibedakan tingkatannya? Karena manusia tidak bisa melakukan kebaikan sekaligus. Dalam satu momentum, ada kebaikan yang harus dilakukan secara bersamaan. Dengan tingkatan kebaikan, kita lebih mudah menentukan apa yang didahulukan dan apa yang difokuskan.
Keburukan ada tingkatannya makruh dan haram. Haram yang membawa pada kemurtadan dan Haram yang hanya sebuah kemaksiatan dengan dosa besar. Inilah tingkatan haram. Namun orang itu tetaplah sebagai muslim. Haram harus dihindari. Sedangkan makruh lebih baik dihindari karena ada efek buruknya juga. Mengapa tingkatan kebaikan lebih banyak daripada tingkatan keburukan?
Efek keburukan lebih besar kerusakannya. Tidak ada toleransi dalam keburukan. Tak ada negosiasi dalam keburukan. Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada menciptakan kebaikan. Sejuta kebaikan bisa dihancurkan hanya dengan satu keburukan saja. Keburukan itu dinikmati oleh nafsu dan kecendrungan manusia. Bila dihadapan satu kondisi, berbuat baik atau mencegah keburukan? Maka dahulukan mencegah keburukan. Begitulah kaidah fikihnya.
Itulah sebab Abu Bakar memberantas mereka yang tidak membayar zakat dan murtad. Untuk Itulah mengapa Umar sangat tegas dengan benih-benih keburukan. Itulah mengapa Ali sangat tegas terhadap kaum Khawarij. Menuntaskan penyimpangan Khawarij, baru kemudian menyelesaikan urusannya dengan Muawiyah.
Cara menghancurkan keburukan dengan memberikan medan yang luas dalam kiprah kebaikan. Kondisi kondusif kebaikan harus didahulukan untuk menekan keburukan. Bisa jadi keburukan itu efek dari tidak adanya ruang kebaikan. Sibukan manusia dengan kebaikan agar tidak memikirkan dan berbuat keburukan.
Untuk itulah tingkatan amal kebaikan lebih banyak jenjangnya. Fardu Kifayah, Fardu Ain, Sunah Muakadah dan Sunah. Jiwa manusia pun diberi ruang rileksasi dari kejenuhan dan kejemuan kebaikan yaiti mencicipi hal yang mubah. Apa itu? makan, minum, istirahat, berkeluarga, menikmati keindahan dan kehidupan. Itulah ruang besar agar manusia melupakan keburukan.
Untuk itulah amar makruf didahulukan daripada nahi mungkar. Ciptakan kebaikan. Buat ruang kebaikan seluas mungkin. Bila masih tetap berbuat buruk. Berarti jiwa manusia tersebut sudah terkontaminasi dengan penyakit. Bukan lagi keterpaksaan. Bukanlah keterdesakan. Tetapi sudah menjadi karakternya. Untuk itulah mengapa ada hukum Islam sangat tegas dan keras.
Islam memberikan ruang besar berkiprah dalam kebaikan. Memberikan ruang rileksasi berupa hal-hal yang mubah. Mubah sebuah ruang menikmati kesenangan dan kehidupan dalam sebuah bingkai fitrah manusia. Lalu menutup rapat keburukan dengan ketegasan. Namun pada sisi lain membuka keran taubat bagi pelaku keburukan. Itulah keindahan hukum Islam. Adakah hukum sesempurna ini?
0 komentar: