Buya Hamka: Membuka Rahasia Orang Lain Berarti Menyakitinya
Judul Buku : Akhlaqul Karimah
Penulis : Buya Hamka
Penerbit : Gema Insani
Membuka rahasia sangat terlarang yakni haram karena membukakan rahasia orang lain itu sama dengan menyakiti dan menghinanya. Banyak janji Allah SWT tentang menjaga kerahasiaan. Sampai di dalam hadits yang shahih pernah disebutkan, bahwasanya barangsiapa yang menutup rahasia orang lain, akan ditutupkan pula oleh Allah SWT rahasianya di hari kemudian. Termasuk di dalam tanda-tanda munafik, seorang yang dipercaya dengan suatu rahasia, kemudian ia membuka rahasia itu kepada orang lain padahal rahasia jika telah diketahui oleh tiga orang, sudah tidak rahasia lagi. Rasulullah saw. bersabda, "Jika ada orang menyampaikan perkataan kepadamu, sedang dia menoleh ke kiri-kanan dengan perasaan curiga, pertanda apa yang hendak dikatakannya merupakan suatu amanah yang wajib engkau pegang teguh."
Namun, rahasia boleh dibukakan jika sekiranya berbahaya bagi jiwa dan harta-benda, misalnya seorang membuka suatu rahasia dengan maksud hendak membunuh atau membakar rumah orang. Dalam hal ini tidak boleh lagi menyimpan rahasia itu, tetapi wajib dengan segera memberi tahu kepada orang yang terancam jiwanya itu.
Perkataan itu telah diringkaskan oleh Tsauban, "Segenap dusta itu dosa, kecuali untuk kemaslahatan kaum Muslimin atau untuk menolak mudharat dari diri kaum Muslimin."
Sesungguhnya ada pula beberapa dusta yang biasa terpakai dalam pergaulan hidup yang biasa pula diberikan didikannya kepada anak, misalnya ketika dipanggil orang untuk makan dengan mulut manis, “Silakan makan." Kemudian kita jawab saja, "Baru habis makan." Padahal kita sebenarnya belum makan. Dusta yang begini memaniskan pergaulan.
Sebab kadang-kadang ketika kita bertamu ke rumah orang, kita diajaknya makan, padahal tidak ada persediaannya sehingga jika kita mau menurutkan ajakannya, akan beroleh malu dan kita terhitung orang yang tidak tahu basa basi. Kemudian kita jawab dengan ucapan, "Saya baru habis makan." Kadang-kadang yang empu nya rumah berkata, "Ah bohong." Kemudian kita jawab, "Memang saya baru habis makan."
Dusta yang begini karena terang bukan untuk mencelakakan orang lain, bukan untuk merusak tatanan masyarakat, bukan pula untuk merendahkan budi sendiri, tidaklah dilarang dalam agama. Semisal pula, dusta melebihkan kepentingan pembicaraan, misalnya "Sudah seratus kali saya katakan padamu, tetapi tidak juga engkau turuti perkataanku." Atau, "Kukumu sudah sepanjang hujan, tidak juga dikerat."
Kedua perkataan ini mengandung dusta sebab baru beberapa kali saja sudah dikatakan seratus, dan baru lebih sedikit saja sudah dikatakan sepanjang hujan.
Pada kedua perkataan ini tidak pula terdapat maksud berdusta, menipu, atau merugikan orang lain. Akan tetapi, untuk menekankan perkataan agar dipahami oleh orang lain, ucapan-ucapan seperti itu tidak boleh dikatakan sebagai dusta. Manakah batas dusta dan tidak, kembali pada budi masing-masing kita jua adanya.
Namun, yang sangat tercela ialah mengatakan bermimpi melihat suatu perkara padahal tidak. Itu pun merusak diri sendiri, di sana tidak ada tersimpan suatu maksud untuk mencari maslahat diri atau maslahat kaum Muslimin.
0 komentar: