Buya Hamka: Fenomena Dzikir Bersuara Keras di Perang Kemerdekaan
Kemenangan pasti didapat karena dua syarat. Yaitu, Jasad yang tak gentar dan teguh serta tetap hati dalam menghadapi musuh serta ruhani yang selalu ingat kepada Allah.
Ingatlah pangkal seruan, yaitu kepada orang beriman. Artinya, berperang bukan karena berperang tetapi ada yang diperjuangkan dan dipertahankan, yaitu iman!
Berdzikir berarti mengingat dan menyebut. Dzikir itu memang ada yang dijadikan semboyan perang dan sorakan kerasnya menaikan semangat dan mendatangkan gentar di hati musuh.
Seorang mantan serdadu Belanda yang pensiun di tahun 1937 menceritakan pengalamannya di Perang Aceh. Dia turut berpatroli sebagai Marsose. Dia menceritakan bahwa Mujahidin Aceh sebelum menyerang, mereka mengadakan ratib dengan berdzikir Laa Ilaha Illallah dengan suara bersemangat. Apabila ucapan itu telah terdengar, serdadu Belanda menjadi kecut karena mereka berjuang menjual jiwanya pada Allah.
Orang Aceh saat perang Aceh menamai dirinya sebagai Muslimin bukan Mujahidin. Karena menurut fatwa Ulama Aceh, yang benar-benar Islam sejati ialah yang pergi melawan Kompeni. "Janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan Muslimin." Kita juga teringat dzikir "Allahu Akbar" ketika perang Kemerdekaan saat melawan Inggris di Surabaya tahun 1945.
Saat pemuda Islam di Jakarta membantu TNI menumpas kaum Komunis yang hendak menghancurkan NKRI, mereka menyerbu sebuah gedung kepunyaan komunis yang bernama Gedung Aliarcham di Pasar Minggu. Mereka bersuara bersama dan bersemangat menyerbu gedung dengan kalimat Allahu Akbar.
Mereka hantam dinding batu dengan tenaga badan bersama hingga hancur runtuh. Banyak anggota TNI yang turut hadir menjadi sangat heran melihat kekuatan yang timbul saat itu. Tidak memakai linggis dan alat-alat lain, hanya dengan kaki dan bahu-bahu mereka hancurkan dinding gedung dengan Allahu Akbar.
Tentara Jepang pernah menyerbu Indonesia memelihara sistem suara keras yang dihejan dari pusar untuk menimbulkan semangat. Betapa pun mereka menggunakan alat senjata modern, namun mereka tidak mengabaikan alat pusaka nenek moyangnya memakai suara keras saat menyerbu musuh.
Suku bangsa Indonesia yang terkenal memakai sistem suara keras dalam perang adalah bangsa Bugis dan Makasar. Suara perang mereka dinamai "Mangkauk".
Sumber:
Tafsir Al Azhar Jilid 4, Buya Hamka, GIP
0 komentar: