Aliran Objektif dan Individualis dalam Penulisan Sirah Nabawiyah
Sebelum abad ke 19, penulisan Sirah Nabawiyah menggunakan metodologi "Aliran Objektif". Sirah ditulis menggunakan prinsip-prinsip dalam pengumpulan hadist dengan merujuk pada studi ilmu mushthalah al hadist dan jarh wa al-ta'dil. Tujuannya seluruh informasi yang ada berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.
ilmu mushthalah al hadist berkaitan dengan sanad dan matan. Sedangkan jarh wa al-ta'dil berkaitan dengan para perawi, termasuk biografi dan catatan kepribadian masing-masing perawi.
Ketika menemukan sebuah kejadian, yang dinilai benar-benar nyata berdasarkan kedua metode yang digunakan, lalu menuliskannya tanpa menambahkan opini apa pun. Para penulis lebih meninggikan kredibilitas dan kepresisian. Mereka meyakini bahwa memasukkan opini dan tendensi pribadi ke dalam sirah merupakan penghianatan intelektual.
Dengan begitu, sirah benar-benar terjaga dan terawat hingga ke tangan generasi berikutnya. Aspek keterandalan sangat penting karena kehidupan Rasulullah saw merupakan cara memahami Al-Qur'an dan Sunnah.
Sigmund Freud, meninggal 1939 M, mengajukan ide penulisan biografi berdasarkan tendensi pribadi. Menurutnya, sejarawan boleh saja memasukkan kecendrungan pribadi, ideologi, atau pandangan politiknya dalam menyusun narasi seseorang. Menurut Dr Said Ramadhan Al-Buthy, method ini disebut "Aliran Individualis".
Method ini membuat sejarah tidak lagi hanya menjadi penutur ulang berbagai peristiwa sejarah tetapi memasuki kreasi seni atau sastra, bukan lagi karya ilmiah yang disusun secara cermat. Pengaruh penulisan ini mulai muncul sejak Inggris menjajah Mesir tahun 1882 M.
Inggris berusaha memasukkan gagasan pro Barat dengan menanamkan perasaan kalah terhadap Barat. Dipertontonkan berbagai capaian teknologi dan pemikiran sekuler. Lewat pengaruh ini, Sirah Nabawiyah diuji dengan rasionalisme dan empirisisme sehingga wahyu dan hal-hal transenden tidak dianggap lagi.
Berbeda dengan sebelumnya, Sirah Nabawiyah tidak lagi menggunakan riwayat, sanad dan prinsip sebagaimana yang berlaku di ilmu hadist. Wahyu tidak lagi menjadi tolak ukur.
Dengan method baru ini, para penulis Sirah Nabawiyah yang sesat tersebut tidak menyinggung yang dianggapnya tidak masuk akal, seperti mukjizat dan kejadian luar biasa. Mereka hanya mencitrakan Rasulullah saw sebagai sosok pemimpin jenius yang hebat, heroik dan sebagainya. Salah satu yang menggunakan method ini adalah Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayyatu Muhammad (1993)
0 komentar: