Demak: Salah Satu Kota Terkaya di Pesisir Utara Jawa
https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/artikel/demak-salah-satu-kota-terkaya-di-pesisir-utara-jawa
“Demak mulai dikenal pada akhir abad ke-15 sebagai kerajaan bercorak Islam yang pertama di Indonesia.” Begitulah penjelasan buku-buku sejarah tentang Demak. Namun, tersembunyi kemilau lain di kota wali ini, yakni menjadi salah satu simpul di jalur rempah.
Letak Demak yang tidak terlalu jauh dari pantai menjadikan kota ini banyak dikunjungi oleh para pedagang, diperkirakan sudah sejak abad ke-14. Namun hingga sekarang pengetahuan kita tentang kota Demak hanya terbatas pada kedudukannya sebagai pusat politik kerajaan Islam pertama di Jawa. Dan belum banyak hal yang diungkapkan tentang perannya dalam jalur rempah.
Catatan dari Tomé Pires juga memperlihatkan bahwa kota ini ramai disambangi orang-orang asing. Orang Persia, Arab, Gujarat, Melayu, dan Cina. Selain itu, banyak sekali orang Muslim yang ada di kota Demak kala Pires berkunjung ke sana. Demak tumbuh besar dan menjadi salah satu kota terkaya di pesisir utara Pulau Jawa (Cortesao 1967).
Orang-orang asing yang datang umumnya adalah para saudagar. Sebagian dari mereka memutuskan menetap dan kawin-mawin dengan orang sekitar. Sarana peribadatan, terutama masjid, semakin banyak ditemui di Demak. Tak heran bila Walisongo menjadikan kota ini sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Apalagi, menurut sejarahnya, Islam dan pedagang Islam adalah hasil peradaban kota. Oleh karena itu dapat dimengerti mengapa orang-orang Islam yang datang ke Demak dan kota-kota pantai di Jawa umumnya adalah pedagang, atau menjalankan dua aktivitas sekaligus, yaitu menyebarkan agama dan berniaga.
Sebagai satu-satunya ibukota kerajaan di Jawa Tengah yang terletak di pesisir, Demak sudah unggul secara geografis. Inilah yang menarik orang-orang berdatangan, terutama orang-orang Islam. Di samping itu menarik untuk diketahui bahwa ketika Demak runtuh, raja-raja Mataram tidak lagi memilih pusat pemerintahannya di wilayah pesisir, melainkan di pedalaman. Demak jelas menjadi semakin kuat di pesisir.
Memang belum banyak literatur yang memaparkan sejak kapan Demak telah menduduki tempat penting di aspek perdagangan. Sumber cukup kuat mengenai Demak di kancah perdagangan internasinoal barangkali berasal dari prasasti zaman Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Disebutkan bahwa nama Demak (Dmak) menjadi salah satu dari 33 pangkalan dari jaringan Iintas air pada masa itu.
Sebuah peta kuno juga memperlihatkan bahwa Demak menjadi simpul penting dalam lalu lintas perdagangan di jalur rempah. Terdapat kota-kota dengan menara berwarna merah. Kota itu adalah Banten, Daramayo (Indramayu), Dama (Demak), dan Iapara (Jepara). Peta ini berbahasa Latin dan sepertinya menjadi peta yang digunakan oleh pelayar-pelayar asing dalam menapaktilasi kota-kota pelabuhan besar, di mana Demak menjadi salah satunya.
Kemudian, pada abad ke-16 Demak juga menjadi tempat penimbunan komoditi perdagangan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sekitarnya. Peranan Demak sebagai pusat kegiatan ekonomi pertanian menjadi semakin penting, terutama ketika kota Juwana yang terletak di sebelah timurnya dihancurkan oleh penguasa Majapahit terakhir sekitar tahun 1513. Juwana semula merupakan kota Pelabuhan dengan Pati sebagai ibukotanya. Sama seperti halnya kota pelabuhan Jepara dengan Demak sebagai ibukotanya.
Menurut cerita, kota Juwana dan Pati merupakan wilayah Sandang Garba, yang berarti “raja kaum pedagang”. Sebutan ini mengindikasikan bahwa kota tersebut dulunya merupakan kota pelabuhan yang cukup penting. Oleh karena itu keruntuhan Juwana mengakibatkan Demak secara penuh mendominasi perekonomian di pesisir utara Jawa, khususnya di selat sebelah selatan Pegunungan Muria.
Keterangan secara umum mengenai komoditi yang diperdagangkan di Demak sebagian dapat diketahui dari catatan Pires. Dikatakan bahwa komoditi utama yang menjadi ekspor kerajaan Demak adalah beras dan bahan-bahan makanan yang lain. Tempat tujuan ekspor komoditas tersebut terutama adalah Malaka. Tidak ada penjelasan lebih detail mengenai bahan-bahan makanan yang lain. Juga tidak disebutkan jenis barang-barang yang didatangkan dari negeri asing. Meskipun begitu, secara umum dikatakan bahwa barang dagangan dikonsumsi dalam jumlah yang besar di negeri ini. Barang-barang tersebut berasal dari Gujarat, Keling, Cina, dan Bengala (Cortesao 1967:186).
Pires menyebutkan bahwa surplus hasil panen kerajaan Demak diangkut ke Malaka dengan kapal jung dan pangajava (Cortesao 1967:186). Dengan demikian cukup jelas bahwa kedua jenis angkutan air tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar dan kedua-keduanya dapat masuk kategori perahu-muatan-barang (kargo).
Tentang wilayah dan penduduk Demak pada awal abad ke-16 terdapat sedikit keterangan dari Pires. Disebutkan bahwa wilayah Demak tergolong lebih besar daripada kota-kota pantai lain di sekitarnya. Kotanya memiliki delapan sampai sepuluh ribu rumah (Cortesao 1967:184). Berdasarkan keterangan ini, tentu tidak dapat segera diperkirakan jumlah penduduknya, tetapi jika diandaikan setiap rumah terdiri dari 5 orang, maka penduduk Demak pada waktu itu berkisar antara 40.000 hingga 50.000 orang, suatu jumlah yang cukup masuk akal untuk kota Demak pada waktu itu (Rahardjo & Ramelan, 1997).
Lebih lanjut, Schrieke menelusuri sejumlah keterangan menyangkut kondisi wilayah dan sistem jalan darat maupun air di daerah Jawa (1959:97-129). Dikemukakannya, bahwa pada masa Mataram Islam, daerah pesisir terbagi menjadi dua oleh sungai Serang (Tedung) yang mengalir ke laut. Sungai ini terletak antara Demak dan Jepara sehingga wilayah pesisir ini terbagi dua menjadi wilayah timur dan wilayah barat. lni berarti ada jalan air yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lalu lintas dari wilayah pedalaman ke wilayah hilir dan sebaiknya. Sementara itu sejumlah wilayah pemukiman dihubungkan satu dengan yang lain dengan jalan-jalan darat. Dari daerah pedalaman (wilayah Mataram) terdapat jalan menuju ke pantai utara, yaitu ke pelabuhan Semarang (sebelumnya adalah Demak).
Sementara untuk melakukan transaksi, mata uang Cina merupakan media tukar-menukar yang penting bagi standar nilai barang-barang yang dipertukarkan. Memang nilai tukar mata uang tersebut terhadap barang yang tertukar tidak selalu sama dari tempat ke tempat, tetapi mata uang tersebut diterima secara umum sebagai alat bayar di dunia internasional.
Sumber:
Cortesao, A. (peny.). 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. (London: The Hakluyt Society)
de Graaf. H.J. & Pigeaud, T. G. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. (seri Terjemahan). (Jakarta: Grafitipers).
Pigeaud, T. G. 1960. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. (The Hague: Martinus Nijhoff).
Rahardjo, S. & Ramelan W.D. 1997. Kota Demak sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. (Jakarta: Direktorat Jenderal kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Schrieke, B.J.o. 1957. Indonesia Sociological Studies, II: Ruler and Realm in Early Java. (The Hague: Martinus Nijhoff).
Sedyawati, E. 1985. Pengarcaan Genesa Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sumber gambar: https://collectie.wereldculturen.nl/#/query/a10b246b-22d0-4792-b955-faa636e8a606
Naskah: Endi Aulia Garadian
Editor: Doni Ahmadi
0 komentar: