Buya Hamka: Wajib Menjaga Kesehatan
Buku: Akhlakul Karimah
Yang menjadi hak diri juga ialah menjaga kesehatan dan mengobatinya jika ditimpa penyakit. Ada orang yang mengatakan bahwa berobat hanya sunnah yaitu berpahala jika dilakukan, tidak berdosa jika tidak dilakukan. Pendapat itu tidak dapat diterima oleh akal, sebab kita diwajibkan Allah SWT berusaha dan bukan yang semacam itu yang bernama tawakal.
Orang yang telantar mencari penghidupan, padahal tiap-tiap penyakit itu ada obatnya. Telantar mencari penghidupan menyebabkan telantar pula makanan anak, istri, sekolah, dan segala keperluannya. Dengan demikian, mengobati penyakit itu adalah wajib.
Tidak dapat diterima orang yang mengatakan berobat itu sunnah. Ulama-ulama kita telah mengatakan, "Jika sekiranya pekerjaan yang wajib tidak dapat di sempurnakan melainkan dengan dia, maka itu pun wajib pula." Kita disuruh di dunia berjuang mencari nafkah menghidupi beberapa jiwa yang terserah penjagaannya kepada kita. Kita wajib selamatkan.
Bagaimana kita menunaikan kewajiban, kalau jiwa kita tidak sehat, tidaklah wajib menjaga kesehatan badan? Wajib menjaga diri, jangan dipikulkan kepadanya barang yang tidak sepadan dengan kekuatannya, beri dia istirahat untuk mendatangkan kegembiraan dan bawa juga diri itu mengambil udara baru, untuk mendatangkan pikiran baru.
Dengan demikian, akan tercapailah segala maksud dari segala cita-cita dan itu pulalah maksud dari sabda Nabi saw.,
"Bahwa diri engkau sendiri mempunyai hak atas engkau."
Hadits ini menegaskan bahwa kesehatan adalah hak tubuh yang mesti dijaga, sebagaimana menjaga hak tubuh yang lain. Kekuatan dan kesehatan itu sebagian besar timbul dari penjagaan.
Setengah dari jalan kesehatan yang telah dibukakan Islam ialah menjaga kebersihan. Islam telah memerintah kebersihan lebih dari perintah yang didatangkan oleh agama lain. Tidak sah ibadah jika badan tidak suci bersih lebih dahulu. Di dalam pengajian fiqih bab thaharah berada di bab yang pertama, Sebelum shalat disuruh berwudhu dengan air yang suci lagi menyucikan, bukan air musyammas yang telah kena matahari, bukan pula air yang telah terpakai untuk keperluan lain.
Dengan sebab itu, timbulkan teknologi untuk memakai air bersih. Bukan air yang telah 70 macam baunya dan 100 macam warnanya, di kolam atau di muka mushala yang penuh dengan lumut. Bukan itu karena bertentangan dengan ajaran agama dan jauh pula dari yang dikehendaki oleh Imam asy-Syafi'i.
Setelah habis bersuci dan berwudhu, hendaklah tempat shalat dibersihkan pula, bukan tikar shalat dibersihkannya pula, bukan tikar shalat yang telah berkesan kening, yang mana tiap-tiap orang yang shalat di sana sehingga tembus karena itu, bisa pula membawa penyakit. Jika sudah demikian, nyatalah bahwa ilmu kedokteran modern sejalan dengan asal muasal dari pokok ajaran Islam mengenai kebersihan. Dalam hadits Nabi saw.
bersabda,
"Kebersihan itu bagian dari iman."
"Allah Ta'aala bersih dan suka pada yang bersih."
Sebagian penyakit datang dari kotoran. Oleh sebab itu, kebersihan bukanlah mengenai tempat-tempat ibadah dan kolam saja, tetapi rumah tangga, kediaman, pakaian, kamar tidur, air minum dan udara yang kita hirup di sekitar kita ini. Di dalam hadits yang tersebut sebagai tolakan dari orang yang sebentar-sebentar menyebut takdir, lagi-lagi takdir.
"Orang itu pun dari takdir pula, dan memberi manfaat pula dengan izin Allah SWT."
Dengan demikian i'tikad baik, tetapi terpelihara sebab dinyatakan bahwa obat adalah sebab, dan sebab itu termasuk takdir juga. Takdir berjalan dengan lulus menuruti yang telah digariskan Allah SWT yaitu jalan sebab dan akibat.
Jika kita berobat dengan sungguh-sungguh, penyakit kita tentu akan sembuh. Jika tidak sembuh, barangkali belum sesuai di antara obat dengan penyakit. Jika mati padahal sudah berobat tidaklah menyesal, jika dibandingkan dengan mati, tetapi tidak mau berobat terlebih dahulu.
0 komentar: