Buya Hamka: Sumber Budi Pekerti
Buku: Akhlakul Karimah
Adapun hakikat budi ialah suatu persediaan yang telah ada, terhunjam di dalam batin. Dialah yang menimbulkan perangai dengan mudahnya sehingga tidak perlu berpikir lama lagi. Apabila persediaan itu dapat menimbulkan perangai yang terpuji, perangai yang mulia (mulia menurut akal dan syara') itulah yang dinamakan budi pekerti yang baik. Namun, apabila yang tumbuh adalah perangai yang tercela menurut akal dan syara', dinamakan pula budi pekerti yang jahat.
Dikatakan bahwa budi pekerti ialah perangai yang terhunjam dalam batin karena ada pula orang yang sudi menafkahkan hartanya dengan ringan saja, tetapi tidak bersumber dari budinya yang terhunjam, hanya semata-mata lantaran ada "maksud" yang terselip di dalamnya.
Sumber dari budi pekerti itu empat perkara, yaitu hikmah, syujaa ah, `iffah, dan 'adaalah (bersikap adil). Yang dimaksud dengan hikmah ialah keadaan nafs (batin) yang dengan hikmah dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dari segala perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar.
Syujaa'ah ialah kekuatan ghadhab (marah) yang di tuntun oleh akal, baik maju maupun mundurnya.
'Iffah ialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara.
Sementara itu, yang dimaksud dengan 'adalaah (adil) ialah keadaan nafs, yaitu suatu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.
Barangsiapa yang dapat menimbang sama berat di antara segala sifat yang empat perkara ini, maka akan timbul budi pekerti yang baik dan mulia. Keempat sifat ini tersimpul satu ayat yang menerangkan sifat-sifat orang Mukmin,
إنما المؤمنون الذين ءامنوا بالله ورسوله، ثم لم يرتابوا وجتهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله أوليك هم الصدقون
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin yang sebenar nya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." *(al-Hujuraat: 15)*
Beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan tidak dicampuri oleh keragu-raguan adalah kepercayaan yang timbul dari keyakinan. Keyakinan itu adalah buah dari akal yang waras. Akal yang waras itulah tujuan dari hikmah.
Berjihad dengan harta benda timbul dari sifat dermawan. Sifat dermawan timbul dari kesanggupan mengekang syahwat. Itulah tujuan adil.
Kesanggupan berjihad dengan diri (jiwa raga) timbul dari kepandaian menimbang nafsu marah yang di tuntun dengan akal. Allah SWT menggambarkan dalam Al-Qur'an sifat-sifat sahabat Nabi saw. dengan firman Nya,
أشتاء على الكفار رحماء بينهم
"Mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." *(al-Fath: 29)*
Di dalam ayat itu tersembunyi hikmah paling besar berupa sikap keras pada tempatnya, yaitu terhadap orang kafir. Sebaliknya, bersayang-sayang itu ada pula tempatnya, yaitu saudara seagama. Tidak selalu orang mesti keras dan tidak selalu pula mesti menaruh sayang.
Kita teringat perkataan beberapa ulama ketika Hajjaj Yusuf, seorang amir yang sangat kejam, membaca doa ketika sakaratulmaut. Dia memohon kepada Allah SWT supaya dosanya yang begitu banyak diampuni karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kata ulama-ulama yang mendengar doanya, "Benar Allah Maha Pengasih dan Penyayang, tetapi apabila dosa yang demikian banyak diampuni juga oleh Allah SWT tanpa dilakukan hukuman, manakah lagi keadilan? Padahal Allah SWT selain Maha Pengasih, Penyayang, juga Mahaadil dalam memberi hukuman."
0 komentar: