Budi Bisa Berubah dengan Riyadhah
Ketahuilah bahwa orang-orang yang telah diikat oleh perangai malas, ia merasa berat hendak membersihkan batin dan membentuk budi pekertinya. Ia tidak diberi kesempatan (oleh dirinya sendiri) untuk menempuh perubahan itu karena pertimbangan yang pendek, ia merasa putus asa, sukmanya rusak dan binasa. Ia menyangka bahwa perangai tidak dapat diubah karena tabiat itu telah demikian sejak di rahim ibu kandungnya.
Apabila perangai tidak berubah, guna apakah wasi at nabi-nabi, hukama, dan ahli-ahli budiman ? Apakah arti pengajaran dan pendidikan jika memang tidak bisa berubah? Bukankah Rasulullah saw. bersabda,
"Perbaikilah akhlakmu."
Manusia mengingkari perubahan perangai, mereka telah putus asa menukar keburukan dengan kebakaikan. Padahal, burung kakaktua yang tadinya liar dapat dijinakkan dan dilatih berbicara. Kuda yang liar pun dapat dijadikan tunggangan, Bukankah semuanya itu dapat mengubah perangai?
Bolehlah kita ambil suatu perkataan untuk membuka rahasia ini. Segenap yang wujud ini ada yang tidak sanggup berikhtiar (berusaha) di luar pikiran manusiawi dan memecahkan asal kejadiannya, seperti langit, bintang, bahkan anggota badan pun, baik di luar maupun di dalam.
Demikian pula makhluk hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan dapat melakukan perubahan-perubahan bentuk dan rasanya, tetapi hakikatnya tetap da lam keasliannya. Misalnya biji kurma, dinamakan biji kurma karena dia timbul dan merupakan bagian dari kurma. Sejak dari tumbuhnya ia bagian dari kurma, tidak bisa berubah misalnya menjadi biji delima. Manusia dengan segala ilmu pengetahuannya mungkin bisa mencangkok kurma tersebut pada pohon delima sehingga rasa kurmanya berubah, tetapi hakikatnya sebagai kurma tidak lah akan hilang.
Demikian pula nafsu amarah (ghadhab) dan syahwat. Bisa kita bentuk dengan syarat-syarat yang telah ada. Akan tetapi, untuk menghapusnya sama-sekali ti dak bisa. Namun demikian, memberi bentuk yang baik dengan riyadhah (latihan batin) dan mujahadah (kesungguhan) tentu akan berhasil.
Memang perangai manusia bermacam-macam, ada yang lekas berubah dan ada yang lama. Maksud mujahadah tidak hendak menghapusnya sama sekali. Bukan demikian maksudnya karena syahwat mesti ada dalam diri manusia. Jika syahwat makan habis, tentu manusia mati. Jika syahwat bersetubuh habis, turunan tidak akan bersambung lagi. Jika habis syahwat marah, manusia tidak lagi mempunyai pertahanan untuk dirinya ketika datang bahaya. Jika syahwat masih ada, mesti ada kesukaan kepada harta benda. Tidaklah maksud mujahadah hendak menghapus syahwat sama sekali, tetapi mengembalikannya kepada i'tidal (pertengahan antara berlebih-lebihan dan berkurang-kurangan). Sifat marah yang dituntut dari manusia semata-mata pertahanan. Jangan terlalu berani dan jangan terlalu penakut.
Pendeknya, hendaklah diri manusia mempunyai kekuatan yaitu kekuatan yang dituntun oleh akal budi. Itulah maksud Allah SWT menyatakan bahwa sahabat sahabat Nabi saw. bersikap keras kepada orang-orang yang ingkar. Tentu saja sikap keras itu timbul dari tabiat marah. Jika tidak ada lagi marah, tidak ada perjuangan (jihad). Bagaimana syahwat dan marah dihapus semua nya, padahal nabi-nabi pun tidak mau membuang semuanya. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda,
"Saya hanya seorang manusia seperti kamu. Saya bisa marah sebagai manusia lainnya." (HR Muslim)
Apabila ada orang membicarakan hal-hal yang tidak disukainya di dekatnya, ia tidak keluar perkataan yang di luar garis kebenaran. Demikianlah Rasulullah saw, tidak pernah kehilangan akal lantaran kemarahan. Allah SWT berfirman,
"dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (Aali 'Imraan:134)
Firman Allah SWT di sini, "wal kaazhimiina" (yang memadamkan), bukan "wal faaqidiina" (yang mengha biskan) Maka dari itu, tempat kembali marah dan syahwat ialah i'tidal artinya bukan syahwat dan marah yang menggagahi akal dan mengalahkannya, tetapi akallah yang memerintah dan menang atas keduanya.
Mengalahkan keduanya bukan mustahil. Itulah yang dimaksud memperbaiki perangai. Memang kerap kali syahwat sangat memengaruhi manusia. Akal tidak kuat mempertahankan sehingga dia tersesat dan berbuat maksiat. Dengan riyadhah (latihan batin) ia akan kembali kepada i'tidal. Hal itu membuktikan bahwa riyadhah (latian batin) dapat mengubah perangai yang paling buruk sekali pun. Pengalaman dan penelitian telah membuktikan adanya perubahan dengan tidak ragu-ragu lagi.
Sebagai bukti adanya kebaikan budi pekerti ialah adanya sifat dermawan. Dermawan atau suka memberi merupakan sifat amat terpuji menurut syara' karena dermawan berada di pertengahan antara mubadzir dan bakhil. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memuji sifat sejati hamba ar-Rahman,
والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذالك قواما
"Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar." (al-Furqaan: 67)
Firman Allah SWT pula,
"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah)." (al-Israa': 29)
Demikian pula tuntutan tentang syahwat makanan, hendaklah pertengahan jangan terlalu loba dan terlalu menahan selera.
وكلوا واشربوا ولا تشرفوا إنه لا يحب المشرفين
"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (al-A'raaf: 31)
Tentang marah, telah diterangkan pula sifat-sifat sahabat yang bersikap keras kepada orang yang ingkar dan berkasih-kasihan di antara sesama. Pendeknya bertemulah apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw.,
خير الأمور أوسطها
"Sebaik-baiknya pekerjaan ialah yang pertengahan." (HR al-Baihaqi)
Sumber:
Akhlakul Karimah, Buya Hamka, GIP
0 komentar: