Karya Sastra Yang Menghancurkan Penjajah Belanda dan Jepang
(2-habis)
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Berikut beberapa bait isi dari naskah Hikayat Perang Sabil:
Setalah lama masa dahulu,
Zaman Rasul Penghulu Nabi,
Perang Sabi tiada berlaku,
Kini baru datang lagi.
Tuhan kita pengasih penjajang,
Tjinta berganda kepada hamba,
Buka djalan lurus memandjang,
Menudju sorga taman bahagia.
Wahai teungku radja djauhari,
Mengapa gelisah tenteram tiada,
Djika tidak memerangi musuh Illahi,
Menjesal nanti tiada berguna.
Oh saudaraku kaum bangsawan,
Firman Tuhan tegas njata,
Harus pertjaja ajat Qur’an,
Segala adjaran didalamnja ada.
Itu firman Kalam Allah,
Mengapa gundah wahai bentara,
Makna maksud maklum sudah,
Mengurai pandjang berguna tiada.
Siapa enggan memerangi Belanda,
Siksa neraka dibalas Tuhan
Demikian kataku adik dana bang,
Djangan bimbang senantiasa.
Beberapa bait dari naskah hikayat perang sabil di atas, sangat menjelaskan bahwa isinya mengarah pada ajakan untuk berjihad dan berperang dengan Belanda. Ajakan tersebut berpedoman pada firman Allah Swt. yang tertera dalam Al-Qur’an serta hadis Rasulullah saw.
Bahkan, pada dua baris yang berbunyi “Siapa enggan memerangi Belanda, Siksa neraka dibalas Tuhan” jelas sekali bahwa penulisnya menunjukkan langsung siapa yang harus diperangi, yaitu bangsa Belanda. Barangsiapa yang tidak ikut berperang melawan Belanda, maka akan mendapat siksa dari Allah Swt.
Ketika penjajah Jepang tiba di Aceh, yang pertama kali dilarang adalah masyarakat dilarang membacakan, mengedarkan, ataupun mengajarkan "Hikayat Perang Sabil."
Nippon sangat paham, pengajaran teks sastrawi itu dapat menginspirasi masyarakat Aceh untuk melakukan perlawanan. Karya Sastra ini telah membangkitkan semangat rakyat Aceh untuk terus berjuang melawan penjajahan.
Teungku Abdul Djalil menentang larangan ini. Ia tetap mengajarkan Hikayat Perang Sabil kepada murid-muridnya di dayah (pesantren desa). Maka dirinya pun berkali-kali dikirim surat panggilan pemeriksaan oleh polisi Jepang (kenpeitai). Tidak satu pun sang Teungku meresponnya.
Sejumlah tokoh lokal membujuknya agar tidak amat sangat terbuka melancarkan perlawanan terhadap Nippon. Teungku juga dihimbau agar menyerah. Kalau tidak, Nippon akan membakar tempatnya mengajar dan desanya.
Teungku menjawab, "Menyerah belum tentu mati syahid, melainkan mati hina. Tetapi melawan sudah pasti syahid." Akhirnya, Jepang mengepung dayahnya pada 11 November 1942. Para Santri bersiap menghadapi serbuan. Jalannya pertempuran tak seimbang. Persenjataan Jepang mengunguli mereka.
Sebanyak 98 santri gugur. Teungku sendiri ditangkap. Pengadilan Jepang menetapkan hukuman mati kepadanya. Setelah dieksekusi, jasad sang syuhada dipertontonkan di hadapan publik. Tindakan ini justru meningkatkan resistensi orang Aceh. Dalam kepanikan, Jepang menggeledah setiap rumah penduduk dan menyita apa pun benda tajam dari warga termasuk pisau dapur.
Sumber:
https://m.kumparan.com/amp/khusnul-khotimah-1592846337415744856/manuskrip-hikayat-perang-sabil-azimat-yang-ditakuti-belanda-1umQRxhRzpE
Harian Republika, Ahad 15 Agustus 2021, hal 3
0 komentar: