Jangan Jadi Text Book Thinking
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Menjadi kutu buku, tetapi jangan menjadi budak buku. Kata Soekarno, jangan menjadi text book thinking yang pikirannya dipengaruhi oleh buku yang dibacanya. Saat masa kemerdekaan, Bung Karno memperingatkan jangan menjadi Hollandsche denken atau berpikir dengan cara Belanda berfikir, bila seperti ini bagaimana bisa dikatakan merdeka?
Menurut Buya Hamka, semua kalangan terkena penyakit ini, seperti para cendikiawan dan intelektual yang berkiblat ke Barat, yang disekolahkan ke Barat, yang membaca buku-buku Barat. Mereka banyak mengutip dan mengumpulkan pendapat profesor, doktor dan sarjana, akan tetapi pendapatnya sendiri tidak ada? Di kalangan Islam pun bermunculan bahwa ijtihad sudah tertutup jadilah hanya mengikuti apa yang telah ditulis ulama terdahulu. Padahal jaman telah berubah dan butuh solusi baru menghadapi perubahan namun dengan prinsip, rambu dan kerangka yang tetap terjaga.
Menjadi budak buku adalah keterbelengguan dan keterpasungan pemikiran. Padahal, kemerdekaan berfikir dan mengeluarkan pendapat yang menunjukkan kepribadian adalah hakikat yang sebenarnya dari kemerdekaan. Menurut Bung Karno, selama cendikiawan masih belum berani mengatakan "pendapatku adalah seperti ini" dan masih saja menurut professor itu dan ini dalam bukunya yang berjudul itu, belumlah cendikiawan yang memelopori kebebasan dan kemerdekaan pikiran bangsanya.
Membaca tulisan manusia, tak semuanya harus diterima apa pun gelar, setinggi apa pun sekolah dan pangkatnya. Sebagai manusia, pernah khilaf. Cara memandang suatu masalah berbeda-beda, dari sudut pandang yang berbeda-beda. Jika semua yang dibaca ditelan saja, hilanglah jiwa kritis yang ada pada kita. Gunakan deep thinking dalam membaca. Bertanyalah dan pertanyaankan setiap yang dibaca, agar jiwa kritis terus terjaga.
Menurut Buya Hamka, tujuan membaca buku adalah untuk menyelami pikiran orang lain dalam buku-buku mereka, lalu membandingkan dan mencari tahu siapa diri kita. Telan buku-buku yang banyak, lalu jadikan pupuk untuk menyuburkan diri sendiri dengan pendapat sendiri. Rousseau berkata, "Saya tidak sama dengan orang lain, meskipun saya tidak mengaku bahwa saya yang lebih bagus atau pendapat saya yang lebih benar."
Bergelar Prof, Dr, Arts, Mr, Ir dan lainnya, namun cita-citanya hanyalah pensiun di hari tua. Banyak pula penguasa dan pejabat yang berfikir hanya persiapan pensiun di hari tua. Bukankah mereka berinteraksi dengan beragam ilmu dan buku? Bukankah dahulu banyak berinteraksi dengan guru, dosen dan pendapat cendikiawan lainnya? Ilmu memang sudah sangat banyak, namun suburnya jiwa budak yang cita-citanya hanyalah pensiun di hari tua.
Menurut Buya Hamka, ilmu harus dibarengi dengan keberanian. Jiwa ketidakberdayaan harus dipupus habis. Bukankah bangsa ini telah banyak para ilmuwan dan cendikiawan, mengapa segala sesuatu masih mengandalkan bangsa lain? Buya Hamka melihat bahwa keberanian bangsa ini dihambat dan dimatikan, hingga hal yang terkecil menimbulkan kesan semakin lama semakin masuk ke dalam pikiran kita, bahwa kita tak sanggup dan tak mampu mendapatkan dan melakukan sesuatu.
Semakin menjadi budak buku, budak pemikiran, budak peradaban bangsa lain, semakin hilang keberanian dan kepercayaan bahwa diri dan bangsa ini mampu menciptakan hal baru yang belum terpikirkan oleh mereka. Jangan sampai, berilmu dan berpengetahuan justru membelenggu dan menghambat kemajuan karena merasa tak bisa lagi menandingi dan menyaingi pemikiran dan teknologi yang ada. Bisa jadi belajar ke sejumlah negri dan membaca sejumlah buku hanya menciptakan para budak modern? Yaitu ketidakberdayaan.
0 komentar: