Ilmu Para Pemimpin rev
Oleh: Nasruloh Baksolahar
Sejarah sering dipalsukan dan dimanipulasi sesuai kepentingan. Sejarah kadang untuk menaikkan harga diri, juga menghinakan. Sejarah menjadi dasar energi kebangkitan. Karena fitrah manusia mencintai leluhur dan tanah airnya. Belajar dari masa lalu untuk mengulangi kejayaan. Belajar sejarah juga untuk melanjutkan visi, misi dan semangat para pendahulunya yang belum terrealisasi. Sejarah menjadi penyambung gagasan generasi terdahulu dengan generasi masa kini. Bukankah penemuan brilian masa ini, kelanjutan kebrilianan masa lalu?
Bagaimana sejarah dapat membangun dan membentuk jiwa dan umat? Dalam Islam, pertumbuhan ilmu sejarah beriringan dengan ilmu hadist. Ilmu hadist menjadi pondasi ilmu sejarah. Karya besar para ahli hadits salah satunya adalah ilmu sejarah, bukan hanya ilmu Fiqh. Methodelogi llmu sejarah umat Islam sangat berbeda dengan umat lainnya. Methodelogi ini yang menciptakan keunikan tersendiri dalam ilmu sejarah Islam.
Umat lain tidak memperhatikan jalur periwayatan atau sanadnya. Tak menguji karakter, akhlak, daya ingat dan kredibilitas para nara sumbernya. Tak membukukan dan mengkompilasi para narasumber dengan segala pernak-pernik kehidupannya. Islam memperhatikan seluruhnya. Inilah yang bisa menjaga keotentikan dan kejujuran sejarah Islam. Tak ada kebohongan dan manipulasi sejarah. Inilah kuncinya.
Apakah bisa membangun jiwa berlandaskan kebohongan? Bisakah membangun bangsa dan umat di atas kerapuhan kedustaan? Keburukan tidak akan pernah menghasilkan kebaikan. Kedustaan takkan pernah membuahkan energi kebangkitan dan kecerdasan. Manipulasi tak pernah menghasilkan kejernihan jiwa dan pikiran. Manipulasi hanya membuahkan perpecahan. Maka bangunlah ilmu berpondasi kejujuran, maka akan berbuah mata air keberkahan.
Di atas kejujuran sejarah inilah umat Islam membangun jiwa yang lemah. Memperbaiki pemikiran yang stagnan. Mengokohkan dan menguatkan langkah yang sebelumnya lemah. Merevisi perjalanan yang terseok-seok karena kehilangan figur yang menjadi tauladan. Mendapatkan solusi ditengah kebuntuan ide dan inspirasi.
Muhamad Az-Zuhali mengutip perkataan al-Jahiz, ilmunya para pemimpin itu adalah sejarah. Mempelajari sejarah akan menambah kecerdasan dan pengalamannya. Amati tiru dan modifikasi, inilah kecerdasan yang sangat sederhana. Saat Umar bin Abdul Aziz baru diangkat menjadi khalifah, dia membaca surat menyurat dan seluruh keputusan yang telah diambil oleh Umar bin Khatab untuk membangkitkan kembali keadilan yang berjaya di era Umar bin Khatab.
Ketika Rasulullah saw menghadapi masalah pelik, Allah menurunkan beragam kisah Nabi dan Rasul terdahulu. Di masa Bani Umayyah dan Abbasiiyah, salah satu ilmu dasar bagi para khalifah dan penggantinya adalah ilmu sejarah. Mereka bersemangat mendengarkan sejarah raja-raja terdahulu, dengan tujuan dijadikan pelajaran dan nasihat yang baik dari kejadian di masa lalu.
Prof Syakir Mustafa menjelaskan fakta sejarah bahwa Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan memanggil Ubaid bin Syaryah untuk berkisah tentang raja-raja dari Arab dan non Arab. Dan memerintahkan ajudannya untuk menuliskan kisah yang dituturkannya. Khalifah Marwan bin Hakam selalu mendatangi majlis Hakim bin Hizam untuk mendengarkan kisah peperangan masa lalu. Khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga Umar Bin Abdul Aziz menanyakan kepada para Tabiin yaitu Urwah bin Az Zubair tentang sejarah. Urwah bin Az Zubair termasuk penulis pertama peperangan Rasulullah saw.
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik meminta asistennya untuk menuliskan kisah yang dituturkan oleh Imam Az Zuhri, seorang Imam terkemuka di Madinah. Bila melihat perjalanan keilmuan para Imam Mazhab di waktu kecil, salah satu ilmu awal yang dipelajari secara konsisten adalah ilmu sejarah. Ketika sejarah telah melahirkan para pemimpin, mengapa saat ini dianggap tak menarik untuk dipelajari?
Jadi ingat tutur kata Sayid Qutb, bahwa cara menghancurkan umat Islam adalah dengan menjauhkan umat Islam dengan sejarahnya. Menjauhkan dari Sirah Nabawiyah. Ustadz Budi Ashari pernah berkata dalam ceramahnya, bahwa cara meningkatkan kejeniusan dengan membaca sejarah para Nabi, Sahabat dan Tabiin. Jadi, menjauhkan dari sejarah berarti menyuburkan kebodohan di tengah umat. Menjauhkan dari sejarah berarti menghancurkan lahirnya para pemimpin baru.
Referensi:
Shahih Tarikh Thabari, Imam Thabari, Di tahqiq oleh Muhammad bin Tahir Al Barzanji, Pustaka Azzam, Maret 2011
0 komentar: