Revolusi di Tengah Wabah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Berita kematian, membuat depresi atau rileks? Mencekam atau tentram? Bertaubat dan mengharapkan rahmat Allah atau stress?
Pasukan mukminin mencari syahid. Bukankah kematian di saat wabah juga kesyahidan?
Syahid berperang setelah menggunakan senjata, perisai, baju besi dan strategi. Menghadapi wabah dengan sarana yang bisa menyelamatkannya.
Yahudi dan Nasrani menganggap jadi manusia pilihan Allah. Lalu Al-Qur'an menantangnya agar meminta kematian sekarang. Mereka ketakutan. Itulah kita hari ini.
Wabah saran meraih kesyahidan. Seperti para Sahabat yang berlomba menuju medan perang karena rindu kesyahidan.
Bila wabah menimbulkan ketakutan, seperti Yahudi dan Munafikin yang ketakutan dan lari saat menghadapi pertempuran.
Saat wabah melanda, bersyukur. Allah telah memberikan waktu untuk bertaubat dan mengharap rahmat-Nya.
Saat wabah melanda, Muadz bin Jabal mengatakan inilah jalan para Nabi dan orang pilihan. Bila kematian terasa dekat, itulah penyelamatan Allah dari kelalaian.
Wabah melanda untuk menyembuhkan penyakit kronis Muslimin yaitu Cinta Dunia dan Takut Mati.
Wabah melanda untuk mengobati penyakit hati, hawa nafsu dan meluruskan tujuan hidup muslimin.
Wabah ini seperti madrasah Ramadhan. Yang membersihkan penyakit aqidah dan jiwa. Setelah itu, kebangkitan baru.
Andai tidak ada letusan Krakatau. Tak ada perlawanan rakyat Banten terhadap Belanda di 1880 M. Wabah merevolusi untuk amar makruf nahi munkar.
Yang paling banyak selamat dari wabah seharusnya muslimin. Seperti dalam semua peperangan. Yang paling banyak tumbang adalah Kafirin.
Kerinduan akan pertemuan dengan Allah dan Rasulullah saw menciptakan ketentraman dan menjauhkannya dari wabah, bukan obat-obatan.
Bila pun wafat, karena Allah dan Rasulullah saw rindu bertemu dengannya, seperti kematian Utsman bin Affan. Bukan karena kurangnya fasilitas kesehatan.
0 komentar: