Proses Peralihan Kekuasaan dalam Sejarah Islam
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Awal kehancuran adalah cinta dunia. Kehancuran kekhalifahan Ummayah, Abbasiyah, Andalusia, Ayyubiyah dan berbagai kesulitan kecil pun disebabkan karena perpecahan internal. Saling berebut kekuasaan. Merasa paling berhak mendapatkan kekuasaan. Inilah sumber kehancuran semua bangsa.
Sumber perpecahan internal karena kezaliman yang berkuasa saat itu untuk melanggengkan kekuasaan. Atau, ada yang ingin merebut kekuasaan saat itu. Agar manusia tidak jatuh pada perebutan kekuasaan, Islam mengatur bagaimana peralihan kekuasaan yang sehat. Rasulullah saw tidak menunjuk siapa pengganti beliau. Namun sudah memberikan rambu-rambu dengan menjelaskan berbagai keutamaan para Sahabat.
Abu Bakar menunjukkan Umar bin Khatab sebagai khalifah karena berbagai keutamaan yang ada pada diri Umar. Umar bin Khatab membuat majelis yang beranggotakan orang-orang terpercaya untuk memilih penggantinya. Abdurrahman bin Auf melakukan survei ke setiap rumah untuk mendapatkan informasi siapa yang layak menggantikan Umar bin Khatab. Maka terpilihlah Utsman bin Affan.
Ketika Utsman terbunuh, siapakah penggantinya? Masyarakat berbondong-bondong ke masjid lalu mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Hawa nafsu memang selalu mendesak dan mendorong untuk mencintai dan merebut kekuasaan. Namun Islam membangun sistem pengalihan kekuasaan agar hawa nafsu dapat dikelola sehingga tidak menampakkan taringnya.
Ketika Ali bin Abi Thalib terbunuh, masyarakat kembali berkumpul di masjid dan mengangkat Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Namun saat itu sudah ada dua matahari kembar yang memungkinkan terjadinya perpecahan. Maka Hasan bin Ali pun melakukan perdamaian dengan Muawiyah bin Abu Sofyan dan menyerahkan kepemimpinan ke Muawiyah. Inilah rekonsiliasi nasional yang dipuji dan diagungkan Rasulullah saw ketika Hasan dalam didikan Rasulullah saw.
Setelah itu, memasuki era kerajaan yang menggigit. Kekuasaan berada di tangan keluarga secara turun temurun. Namun Umar bin Abdul Aziz mengembalikan ke konsep Islam dengan menolak berkuasa karena keturunan. Dia mengembalikan kekuasaan. Lalu rakyat berbondong-bondong ke masjid untuk mengangkat kembali Umar bin Abdul Aziz sebagai kekhalifahan. Setelah kematian Umar bin Abdul Aziz karena diracun, peralihan kekuasaan kembali ke sistem turun temurun.
Apakah sistem turun temurun tidak dibolehkan? Umar bin Khatab menentang keras ketika putranya Abdullah bin Umar hendak diangkat sebagai khalifah. Walaupun Abdullah bin Umar memenuhi seluruh kriterianya. Umar Bin Abdul Aziz menolak keras ketika anaknya hendak diangkat sebagai khalifah. Itulah ijtihad mereka. Mereka ingin mengikuti contoh Rasulullah saw dan khalifatur rasyidin dalam peralihan kekuasaan.
Bagaimana dengan demokrasi? Inilah sistem yang membuat peralihan kekuasaan tidak berdarah-darah. Disinilah kebaikannya. Hanya saja butuh pendidikan yang kuat dan kejelian dengan membangun masyarakat bertakwa agar kekuasaan digenggam oleh yang bertakwa pula.
0 komentar: