Penerapan Syariat Islam di Nusantara (bagian-4)
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Setelah kepergian Ar Raniri. Kesultanan Aceh mengangkat Al-Sinkili sebagai Syeikh Islam Aceh. Beliau banyak menulis buku atas permintaan Sultanah Aceh yang bernama Shafiyyah Al-Din. Tulisannya bukan hanya ibadah tetapi seluruh aspek kehidupan.
Kitab fiqih Mir'at At Thullab ditulis untuk sang Sultanah, isinya tentang ibadah, muamalat, kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum muslimin. Di era Sinkili juga, Syarif Makkah memberikan gelar Sultan kepada Sultanah kerajaan Aceh. Mengenai polemik penguasanya seorang perempuan, Sinkili cendrung diam. Ini indikasi toleransi pribadinya atas hal ini.
Menurut Buya Hamka, kerajaan Aceh berkembang maju dan kedudukan Sultan dalam susunan pemerintahnya tidak bisa memerintahkan dengan kemauannya sendiri. Kekuasaan dibagi menjadi eksekutif, legislatif dan Yudikatif.
Undang-undang di Kesultanan Aceh diberi nama Qanun Asyi Darussalam. Isinya menegaskan bahwa sumber hukum, adat, qanun dan resam adalah Al-Qur'an, Hadist, Ijma dan Qiyas, menurut madzah Ahlussunnah wal Jamaah, dan tidak boleh menyeleweng dari itu.
Di era Sinkili, perempuan diperbolehkan untuk aktif duduk di pemerintahan, legislatif, aktif dalam memegang peranan di saat perang hingga menjadi Sultanah. Ini merupakan sumbangsih pemikiran dalam kaitannya diperbolehkan perempuan menjadi hakim dan pemimpin.
Hingga akhirnya Mufti Kepala di Makkah mengirimkan fatwa bahwa perempuan menjadi Sultanah bertentangan dengan syariat Islam. Sejak itulah kesultanan Aceh dipimpin oleh laki-laki kembali.
Sumber:
1. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke 17-18, Prof Dr Azyumardi Azra, Kencana 2007.
2. Sejarah Umat Islam, Buya Hamka, GIP 2017.
3. Biografi Ulama Nusantara, Rizem Aizid, Diva Press 2016.
0 komentar: