Dizalimi Penguasa, Begini Cara Revolusinya
(Dikutip dari Buku Islam, Revolusi dan Ideologi karangan Buya Hamka)
Selalu berulang, golongan yang diberi Allah kelebihan dibandingkan saudaranya sesama manusia memegang kekuasaan di dalam negrinya. Setelah telapaknya teguh dalam memegang kekuasaan itu, dia melakukan kezaliman dan kesewenang-wenangan di atas bumi Allah. Dia menghimpit, menindas sesama manusia, dan menumpahkan darah. Kemudian, berusahalah golongan yang tertindas melepaskan diri dari himpitan itu.
Usaha melepaskan diri kadang-kadang memakan tempo yang lama, berpuluh-puluh tahun. Mulanya, penindasan itu diterima saja dengan sabar oleh penduduk, dipandang sebagai sebuah takdir atau adzab Allah yang tidak dapat dielakan. Sebab penindasan itu tiada tertahan lagi, timbullah manusia berani yang menyatakan pikirannya, lalu mencela tiap-tiap perbuatan yang tiada adil atau hendak meminta perubahan baru.
Karena itu, sangatlah murka pihak penguasa kepadanya. Dia dituduh hendak mengembangkan kekuasaan, hendak mengacau aturan yang telah lazim, dan hendak mengubah adat lama pusaka usang. Bukan saja pihak penguasa yang marah kepadanya, rakyat yang hendak dilepaskan dari belenggu, menuduhnya pula sebagai pengacau atau pengganggu keamanan.
Kadang-kadang pengubah itu dibunuh oleh bangsanya sendiri atau lari dari tempat tinggalnya karena tiada tahan cela dan maki. Kadang-kadang pula difitnahkan "perkakas bangsa asing", menerima uang suap, bahkan teman-temannya sendiri pun menuduhnya pengecut jika dia bersikap kendor, atau diktator jika dia keras, atau disuruh mundur jika dilihat kekuatan lawan.
Akan tetapi, pikiran yang telah dikeluarkan oleh orang pertama itu tidak dapat ditahan lagi. Di dalam masyarakat mulai tumbuh, kian lama kian subur walaupun bagaimana pun halangan menghambatnya. Pekerjaan orang pertama belumlah sempurna, nanti akan datang pula orang kedua menambah dan memupuk pikiran itu. Mulai goyang batu sendi susunan lama. Datang pula orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, tambah menambah sehingga akhirnya menjadi pendirian yang teguh di dalam masyarakat. Akhirnya tibalah aksi serentak.
Tak ubahnya denga air mengalir dari puncak bukit, lalu terhambat pada suatu tempat oleh suatu empangan. Mana air yang dahulu datang, berhenti dahulu di depan empangan itu, menunggu temannya dan mengumpulkan kekuatan serentak. Setelah genap bilangan, ditekannyalah bersama-sama empangan itu, yang di depan mendesak empangan, yang dibelakang tak mau mundur lagi, terus pula mendesak kepada temannya yang di depan.
Dengan demikian, di dalam sorak-sorai yang gegap gempita, empangan tadi jatuh hancur, atau tersingkir ke tepi, atau terbawa arus. Pagi hari besoknya kelihatanlah yang lama telah rompak, banyak batang dan pohon tumbang. Kadangkala ada orang yang turut hanyut, tidak bersua bangkainya lagi. Mulai hari besoknya lagi, dimulailah menyusun dan membangun yang baru. Usaha melepaskan diri sampai berhasil menumbangkan satu kekuasaan yang menindas, dinamakan revolusi.
0 komentar: