basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Dari Pasar Menuju Istana: Sebuah Jejak Takdir Yusuf (Seri 8 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Matahari sore menggantung re...

Dari Pasar Menuju Istana: Sebuah Jejak Takdir Yusuf
(Seri 8 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Matahari sore menggantung redup di langit Mesir. Pasar budak mulai lengang. Para pembeli telah pulang dengan barang yang mereka anggap berharga. Tapi hari itu, seorang pembesar istana masih berdiri mematung di hadapan seorang pemuda yang wajahnya tenang seperti air sumur tua, sorot matanya dalam seperti padang malam.

“Namamu siapa, anak muda?” tanya sang pembesar, menunduk dengan penuh perhatian.

“Yusuf,” jawab pemuda itu lirih.

Senyum pembesar itu merekah. Ia merasa hatinya disentuh oleh sesuatu yang tidak biasa—semacam firasat yang selama ini hanya datang ketika ia sedang bermunajat di taman istana.


---

Perjalanan dari pasar menuju istana berlangsung sunyi. Yusuf duduk diam di dalam kereta, diapit dua penjaga. Ia memandang ke luar—pohon-pohon kurma yang menjulang, tembok tinggi kota, dan wajah-wajah para pelayan yang berlarian di sepanjang jalan utama.

Ia belum tahu, bahwa sore itu adalah awal dari panggung takdir yang besar.

Sesampainya di lingkungan istana, Yusuf menatap dinding marmer putih dan gerbang yang dijaga para prajurit berpedang. Hatinya bergolak. Apakah ini tempatnya? Setelah sumur? Setelah pasar?

Sang pembesar menoleh kepadanya, “Engkau akan tinggal di sini, Yusuf. Mulai hari ini, anggap tempat ini rumahmu.”

Yusuf diam. Dalam dadanya, nama ayahnya—Yakub—bergetar seperti angin gurun yang pulang ke padang. Ia belum bisa sepenuhnya memahami maksud dari semua ini, tapi hatinya mulai pasrah, seperti mata air yang tak memilih tanah mana yang akan menerimanya.


---

“Berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik,” kata sang pembesar kepada istrinya dengan nada tegas namun lembut.

Sang istri, seorang wanita anggun yang terbiasa dengan keindahan dan kesempurnaan, menatap Yusuf dari ujung kaki hingga ubun-ubun.

“Lihatlah wajahnya,” katanya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Ia seperti bukan manusia biasa. Ada kemuliaan yang terpancar darinya. Barangkali ia bukan budak—tapi titipan langit.”

Pembesar itu mengangguk. “Mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita. Lihat tatapannya… seperti membawa masa depan dalam diam.”

Sang istri mendekat pada suaminya dan berkata, “Kalau begitu, jangan perlakukan dia sebagai hamba. Perlakukanlah dia seperti keluarga.”

Lelaki itu tersenyum, “Atau kita pungut dia sebagai anak. Kita didik, kita sayangi. Siapa tahu, dia yang akan meneruskan jejak kita kelak.”

Yusuf berdiri membisu, tapi matanya mulai berbinar. Ia telah kehilangan keluarga, namun kini... mungkin ia sedang dipertemukan dengan takdir pengganti yang lebih besar.


---

Hari-hari pun berlalu.

Yusuf tumbuh di tengah taman istana, bukan sebagai pelayan, tapi sebagai anak angkat yang diberi pendidikan dan kepercayaan. Ia mempelajari bahasa, administrasi negeri, ilmu bintang dan mimpi. Ia menjadi lebih dari sekadar penghuni istana—ia menjadi jiwa yang menanti panggilan besar.

“Demikianlah,” kata suara langit,
“Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri Mesir, dan agar Kami mengajarkan kepadanya takwil mimpi.”

Di langit Mesir, malam turun perlahan, membawa bintang-bintang yang mengintip dari sela tirai langit. Yusuf memandang ke langit, mengingat pelukan ayahnya di tanah Kanaan, dan merenung dalam diam:

"Beginikah cara Allah membuka jalan? Dari sumur ke pasar. Dari pasar ke istana. Dari kesedihan ke pembesaran. Dari air mata ke ilmu yang agung."

"Allah berkuasa atas segala urusan-Nya,"
"tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti."

Yusuf: Di Atas Punggung Waktu yang Berderap Menuju Mesir (Seri 7 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Malam itu, angin gurun ...

Yusuf: Di Atas Punggung Waktu yang Berderap Menuju Mesir
(Seri 7 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Malam itu, angin gurun membawa bau perbekalan yang basi dan debu dari ribuan tapak kaki unta yang berjalan lamban tapi pasti. Di antara buntalan kain kasar, kuli angkut, dan jerigen air, tersembunyi seorang anak lelaki. Matanya sembab, pipinya basah, tubuhnya terbaring meringkuk seperti barang dagangan, diperlakukan bukan sebagai manusia, tapi komoditas.

Ia adalah Yusuf. Tidak ada yang tahu siapa anak ini, kecuali langit.

Tubuh kecilnya terombang-ambing di atas punggung unta, diapit karung-karung gandum dan botol minyak. Ia tidak tahu di mana ia berada, tidak tahu akan ke mana. Sejak ditarik dari sumur dengan teriakan gembira—bukan karena menyelamatkan, tetapi karena melihat peluang dagang—Yusuf seperti dilempar ke dunia yang asing dan dingin. Tak ada satu pun wajah yang mengisyaratkan belas kasih, hanya mata-mata licik pedagang yang menghitung, menimbang, lalu saling berbisik: “Kita harus sembunyikan anak ini, jangan sampai ada yang tahu dia bukan budak.”

Ia dijaga ketat. Tapi bukan karena dihargai. Melainkan karena takut kehilangan untung.

Lalu pagi tiba. Kabut pelan-pelan tersingkap. Suara pasar mulai terdengar seperti dengung lebah dari kejauhan. Mesir sudah dekat.


---

Pasar budak Mesir adalah tempat di mana harga manusia dihitung dengan logika dagang, bukan harkat. Hiruk-pikuk para pembeli, teriakan para penjaja, dan cambuk yang memecah udara—semua bersatu dalam satu simfoni suram yang biasa mereka sebut transaksi.

Yusuf diturunkan dari unta. Tubuhnya dibersihkan seadanya, rambutnya disisir, dan wajahnya dipoles agar tampak “menarik” di mata pembeli. Tetapi para pedagang itu gelisah. Wajah tampan Yusuf justru membuat mereka takut. Anak ini terlalu bersih, terlalu anggun, terlalu... berkelas.

“Cepat kita jual saja,” bisik salah satu dari mereka. “Kalau ada yang tahu dia bukan budak, kita bisa celaka.”

Tak ada lelang. Tak ada penawaran tinggi. Tak ada pujian atas rupa. Yusuf dijual secara sembunyi-sembunyi.

“Mereka menjualnya dengan harga murah—beberapa dirham saja.”

Bahkan uangnya tak perlu ditimbang, cukup dihitung dengan jari. Itu pertanda nilainya kurang dari 40 dirham, harga yang memalukan untuk seorang anak seindah Yusuf, apalagi di Mesir, negeri budak yang menjadikan harga tinggi sebagai lambang prestise.

Ketika tangan pembeli menyentuh Yusuf, bukan rasa dimiliki yang terasa, tetapi pesan langit mulai bergerak.

Pembelinya bukan orang sembarangan. Ia adalah al-‘Azīz, seorang pejabat tinggi, seorang menteri yang kekuasaannya menggetarkan pasar dan istana.

Senyap Yusuf menatap langit. Tak ada air mata. Tak ada tanya. Ia tahu, yang menjualnya bukan manusia, tetapi takdir. Dan yang membelinya bukan sembarang manusia, tetapi perantara jalan yang telah ditulis oleh Tuhan sejak ia bermimpi bertemu bintang, matahari, dan bulan.

Langkah Yusuf kini menuju istana.

Tapi sebelumnya, ia melewati harga dirinya yang ditukar dengan beberapa dirham saja.

Dan itulah permulaan perjalanan seorang nabi.

Dari Gelap, Sebuah Cahaya Diturunkan (Seri 6 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar Gelap adalah teman paling setia Yusuf sejak ...

Dari Gelap, Sebuah Cahaya Diturunkan
(Seri 6 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Gelap adalah teman paling setia Yusuf sejak tubuh mungilnya dijatuhkan ke dasar sumur oleh saudara-saudaranya. Dingin merayap pelan ke tulangnya, menyalip kehangatan terakhir dari pelukan ayahnya. Tak ada suara, selain tetesan air dari dinding sumur dan desah napasnya sendiri yang menipis oleh lapar dan takut.

Dalam sunyi itu, ia memejamkan mata.
"Ya Rabbi, Engkaulah pelindungku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku percaya, Engkau melihat."

Waktu berjalan lambat. Hari telah berganti. Tak ada tanda-tanda pertolongan.

Hingga tiba-tiba, dari kejauhan—derap kaki unta, debur pasir diinjak langkah-langkah lesu. Kafilah dari Madyan. Wajah-wajah letih, bibir pecah-pecah oleh dahaga. Persediaan air telah habis.

"Itu... sumur! Lihat, di sana!"
Salah seorang berseru dengan mata berbinar, seperti melihat kehidupan itu sendiri.

Para musafir pun bergegas. Langkah mereka berat, tapi harapan membuatnya ringan. Setiba di sumur, salah satu dari mereka segera mengambil tali dan timba. "Semoga sumur ini masih menyimpan sisa rahmat Tuhan," gumamnya.

Ia menjatuhkan timba.

Suara gemericik tali menggulung memecah sunyi. Di bawah sana, Yusuf yang duduk lemah membuka matanya. Cahaya kecil tampak menembus gelap. Sebuah ember? Harapan?

"Ini... ini kesempatan itu," bisik Yusuf dengan detak jantung tak menentu.
Dengan sisa tenaga, ia raih tali itu dan menggenggam erat. Sangat erat. Tangannya kecil, tapi tekadnya besar.

Di atas, penimba terkejut.
"Apa ini? Berat sekali..."
"Tarik! Bersama-sama!"
Mereka menarik timba itu perlahan, penuh curiga. Embusan napas makin cepat, tangan berpeluh. Lalu... muncullah kepala seorang anak lelaki dari mulut sumur.

"Oh!"
"Ya busyrā! Hādzā ghulām!"
“Oh senangnya! Ini ada seorang anak muda!”

Yusuf terangkat dari gelap menuju cahaya.

Orang-orang kafilah terpana. Anak itu elok, wajahnya bersinar, meski tubuhnya kotor dan lelah. Pemimpin kafilah menatapnya, dan tak lama kemudian terlintas niat di benaknya:
"Ini bisa jadi keuntungan besar di Mesir. Anak seperti ini... pasti laku mahal."

Tak ingin kehilangan kesempatan, ia berbisik, "Sembunyikan dia. Jangan sampai warga sekitar melihatnya. Nanti mereka mengklaim bahwa ini anak kampung mereka."

Mereka bungkus Yusuf dalam diam. Tak ada yang bertanya siapa dia. Tak ada yang bertanya kenapa ia berada di sumur. Ia dibungkam, dijadikan barang dagangan.

Yusuf tak melawan. Ia pasrah.
Namun di dalam hatinya, ada suara yang menenangkan:
"Jangan takut. Ini bukan akhir, tapi awal. Aku bersamamu."

Dan Allah...
"Wallāhu ‘alīmun bimā ya‘malūn."
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Yusuf diam. Tapi Allah berbicara padanya lewat peristiwa.
Manusia menilai dari rupa. Allah menilai dari rahasia hati.
Mereka ingin menjual Yusuf untuk untung dunia. Tapi Allah sedang membelinya untuk jalan kenabian.

Petang di Lembah Air Mata Palsu (Seri 5 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Senja mulai menyelimuti padang Kanaan. Langit be...

Petang di Lembah Air Mata Palsu
(Seri 5 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Senja mulai menyelimuti padang Kanaan. Langit berganti warna, dari biru kejinggaan, lalu menggelap perlahan. Angin petang membawa debu dan kesepian. Di dasar sebuah sumur tua, dingin batu dan kesunyian malam menyambut seorang bocah yang baru saja dilempar oleh darah dagingnya sendiri.

Yusuf.

Tubuh kecil itu menggigil, namun bukan hanya karena dingin. Ia baru saja kehilangan kepercayaan pada manusia.


---

Di kejauhan, sekelompok pemuda berjalan cepat menuruni bukit menuju kemah Nabi Ya’qub. Langkah mereka tergesa, pakaian mereka berdebu, suara tangis mereka menggema... tapi tidak sampai ke hati.

“Wahai Ayah kami...” seru mereka sambil menyeka air mata yang tak tulus. “Kami pergi berlomba, seperti biasa... berlarian di padang, tertawa, bergembira.”

Nada suara mereka menggambarkan riang masa lalu, bukan duka hari ini. Mereka menyusun narasi: Yusuf ditinggal hanya sejenak, di dekat barang-barang kami. Aman. Kami tidak lalai.

Mereka memilih waktu petang. Waktu di mana kabut keraguan mudah diselipkan. Agar Ya’qub tak sempat menyelidiki. Agar tidak ada pencarian. Agar malam menjadi selimut bagi dusta mereka.

Dan kemudian, mereka mengeluarkan sesuatu: baju Yusuf. Baju yang dicelup darah, tapi tidak terkoyak.

“Ini, Ayah...,” kata mereka. “Lihat, serigala itu kejam. Tapi kami tak bisa menyelamatkannya... kami lengah.”

Nabi Ya’qub memandang baju itu. Lama. Mata tuanya jeli dan jujur.

“Darah ini palsu,” batinnya. “Kalaupun Yusuf diserang serigala, mengapa bajunya masih utuh? Tak ada bekas robekan. Tak ada gigitan. Tak ada jeritan yang kalian ceritakan.”

Ia menarik napas dalam-dalam. Ada luka, tapi lebih dalam dari kehilangan adalah kebohongan anak-anaknya sendiri.

“Tidak,” ucapnya pelan, tapi pasti. “Bukan serigala yang memangsanya. Tapi serigala dalam hatimu... yang telah menggodamu, dan membuatmu menzalimi saudaramu sendiri.”

Mereka tertunduk. Tapi hati mereka belum menyesal. Sementara Ya’qub, ayah yang patah hati itu, menunduk, bukan karena kalah—melainkan karena menyerahkan segalanya kepada Sang Mahakuasa.

“Maka, bersabarlah... karena hanya sabar yang terbaik bagiku,” ucapnya lirih.

Sabar yang tidak berarti diam. Tapi sabar yang menggantungkan harapan pada langit, bukan pada manusia.

Dalam malam yang semakin pekat, tangis Ya’qub tak disertai teriakan. Ia tidak memaki, tidak mengutuk. Ia hanya menatap langit, dan memohon: “Wahai Tuhan, jagalah anakku. Jika masih hidup, tuntunlah dia. Jika telah tiada, temukan aku dengannya kelak.”

Air matanya mengalir. Tapi bukan karena ia percaya pada dusta itu. Ia menangis karena hatinya telah mencium aroma pengkhianatan, namun tak dapat membalas kecuali dengan kesabaran dan tawakal.

Dan malam pun terus berjalan... membawa Yusuf ke takdirnya, dan Ya’qub ke luka panjang yang hanya bisa diobati oleh janji Tuhan.

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman (Seri 4 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  ...

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman
(Seri 4 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

"Maka ketika mereka membawanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Pagi itu cerah. Angin semilir menggoyangkan dedaunan, seakan tidak ada duka yang mengendap di langit keluarga Ya'qub. Yusuf, si anak lembut yang wajahnya menyimpan keteduhan langit, diajak oleh saudara-saudaranya bermain. Ia menatap wajah-wajah mereka dengan penuh harap, meski hatinya menyimpan rasa janggal.

“Saudara-saudaraku, sungguh lama aku menanti hari ini… saat kalian mengajakku bermain,” ujar Yusuf dengan polos dan bahagia.

Namun, di balik senyum mereka, tersembunyi niat kelam yang disusun dengan penuh dengki dan kecemburuan. Hati mereka yang selama ini dirundung bayang-bayang kasih sayang ayah, merasa Yusuf-lah penyebab semua itu. Yusuf adalah cahaya di mata sang ayah, dan cahaya itu — menurut mereka — harus dipadamkan.

Langkah demi langkah menuju padang yang sunyi, hati Yusuf mulai dihantui tanya.
“Ke mana kita akan bermain?” tanyanya.
“Tunggulah, Yusuf. Di sana ada tempat yang menyenangkan,” jawab salah satu dari mereka, dengan suara yang memaksakan kehangatan.


---

Ketika Yusuf Dimasukkan ke Dalam Sumur: Runtuhnya Dunia Seorang Anak

"Maka mereka sepakat untuk memasukkannya ke dasar sumur..."
(QS. Yusuf: 15)

Dan tibalah saat yang telah mereka rencanakan. Di dekat sumur tua yang sepi, mereka melemparkan Yusuf ke dasar kegelapan. Tak ada air mata di wajah mereka. Justru sebaliknya—ada kepuasan yang ganjil.
"Sudah selesai. Kini Ayah akan mencintai kita," ujar salah satu dari mereka.
Yang lain mengangguk, lega. “Yusuf, penghalang itu, telah hilang.”

Di dasar sumur itu, Yusuf menggigil. Bukan hanya karena dingin, tetapi karena luka yang tak tertampung oleh kata-kata. Ia bukan hanya dijatuhkan oleh tubuhnya, tapi juga oleh kepercayaannya kepada orang-orang yang ia sebut saudara.

"Apakah ini akhir dari hidupku, ya Allah?" bisiknya lirih.


---

Ketika Allah Menghibur Seorang Anak yang Dikhianati

"Kami wahyukan kepadanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Namun pada saat itulah, justru langit membuka pintunya. Allah membisikkan keteguhan ke dalam jiwa Yusuf yang ringkih:
"Tenanglah, Yusuf. Ini belum akhir. Akan tiba saatnya engkau berdiri tegak dan menceritakan semua ini kepada mereka..."

Di dalam sumur yang gelap, Yusuf tidak sendiri. Ia ditemani oleh janji langit. Janji bahwa penderitaan ini bukan kehancuran, melainkan permulaan dari kemuliaan. Bahwa pengkhianatan ini akan menjadi awal dari kisah panjang seorang pemimpin yang akan mengampuni mereka yang pernah mencelakakannya.


---

Ketika Mereka Tidak Sadar: Dunia Berputar, Rencana Ilahi Terus Bergerak

"Sedang mereka tidak menyadari..."
(QS. Yusuf: 15)

Saudara-saudaranya pergi dengan hati ringan, tanpa tahu bahwa langit punya rencana yang jauh lebih besar dari siasat mereka. Mereka tidak menyadari bahwa orang yang mereka celakai adalah orang yang kelak akan memberi mereka makan di masa paceklik, memeluk mereka di saat ketakutan, dan mengampuni mereka saat menangis menyesal.

Yusuf bertahan. Bukan karena kekuatannya, tetapi karena rahmat Allah. Ia tahu kini: bahkan sumur pun bisa menjadi panggung wahyu. Bahkan kegelapan bisa menjadi tempat datangnya cahaya.


---

“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia…”
(QS. Ali Imran: 191)

Tiada satu pun kisah yang sia-sia dalam kehidupan ini, apalagi yang ditulis langsung oleh pena keagungan Ilahi. Dari mata Yusuf yang basah, dari hati saudara-saudaranya yang gelap, dari sumur yang bisu—semuanya bagian dari kisah yang akan membuktikan: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, bahkan ketika semua orang melakukannya.

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi (Seri 3 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di uju...

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi
(Seri 3 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara sejuk menyelimuti perbukitan. Nabi Ya‘qub duduk di dekat pangkal pohon zaitun tua, tangannya sibuk merapikan anyaman wadah dari pelepah kurma. Wajahnya teduh, tetapi matanya memancarkan kepekaan seorang ayah yang selalu menyimpan kecemasan dalam diam. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau, dan angin padang membawa harum tanah yang baru tersiram embun.

Dari kejauhan, sekelompok anak lelaki mendekat. Langkah mereka pelan, seakan menyembunyikan kegugupan. Mereka adalah putra-putra Ya‘qub, kakak-kakak Yusuf. Saling melirik satu sama lain, ada keganjilan yang belum sempat mereka sepakati untuk disembunyikan. Namun hari itu mereka sepakat untuk satu hal: Yusuf harus dijauhkan.

Mereka duduk melingkar tak jauh dari ayah mereka. Suasana jadi senyap, hanya terdengar desir daun yang diterpa angin. Tak satu pun langsung bicara. Mereka terlihat ragu, lidah mereka kelu. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri.

“Wahai Ayah kami,” katanya, dengan nada seolah memohon kepercayaan.
“Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf?”
“Padahal kami benar-benar menginginkan kebaikan baginya.”

Ya‘qub menghentikan anyamannya. Ia menoleh, pandangannya tajam namun penuh kasih. Ia belum menjawab, seolah memberi ruang untuk anak-anaknya melanjutkan kata.

Yang lain menyambung, suaranya bergantian, terdengar seperti rencana yang sudah lama dirancang:

“Izinkan dia pergi bersama kami besok pagi,”
“Agar ia bersenang-senang dan bermain-main.”
“Dan sungguh, kami pasti menjaganya.”

Mereka saling sahut, meyakinkan, seakan semua telah siap menjaga Yusuf dengan penuh tanggung jawab. Namun Ya‘qub tetap diam sejenak, lalu menghela napas dalam. Dari raut wajahnya, tampak perasaan yang dalam antara cinta dan firasat yang menekan.

“Sesungguhnya kepergian Yusuf bersama kalian... itu sangat menyedihkanku,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan angin.
“Aku khawatir… dia akan dimakan serigala... saat kalian lengah.”

Matanya memandang jauh ke arah padang, seolah menggambarkan ruang bermain yang luas namun berbahaya. Bayangan Yusuf kecil di tengah padang gersang, dengan tawa yang bisa sirna seketika oleh satu kelengahan.

Namun para kakak tetap berkeras. Salah seorang berkata:

“Jika dia sampai dimakan serigala—padahal kami ini kelompok yang kuat dan banyak—maka sungguh, kami inilah orang-orang yang benar-benar rugi!”

Yang lain mengangguk, menegaskan kalimat itu. Seakan membiarkan Yusuf celaka adalah kehancuran harga diri mereka. Mereka membangun benteng kata untuk membujuk sang ayah. Dan Ya‘qub… seorang nabi yang penuh hikmah dan cinta, menyimak semua dengan air mata yang belum tumpah, namun sudah tergenang dalam dada.

Akhirnya, dengan hati yang berat, ia mengangguk pelan. Sebab ia tahu: kadang ujian tidak bisa dihindari, hanya bisa dihadapi dengan doa.

Dan Yusuf pun berangkat pagi itu bersama saudara-saudaranya. Ia berjalan dengan langkah ringan, membawa keceriaan anak-anak. Ia tak tahu, rencana besar telah disembunyikan di balik senyum saudara-saudaranya. Dan sang ayah, Nabi Ya‘qub, berdiri di kejauhan, menatap kepergian itu dengan hati yang diguncang firasat.

Langit tetap biru, tetapi bumi mulai menyiapkan takdirnya.

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi (Seri 2 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Wahai anakku, janganlah...

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi
(Seri 2 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


"Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
sebab mereka bisa merancang tipu daya terhadapmu.
Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia."
— (QS. Yusuf: 5)

Petuah itu terucap lembut di tengah malam yang senyap. Di bawah cahaya bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit Kanaan, Nabi Ya‘qub menggenggam tangan putranya, Yusuf kecil, yang wajahnya bersinar oleh kemurnian dan cahaya kenabian yang belum disadarinya sendiri.

Di antara detak jantung yang tenang dan bisikan angin gurun, sang ayah—seorang Nabi yang bijak—telah membaca gelombang masa depan yang tersembunyi dalam sebuah mimpi: sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepada Yusuf. Sebuah mimpi yang bukan sekadar bunga tidur, melainkan kabar langit yang bisa memancing gelombang kecemburuan di bumi.

"Jangan ceritakan ini kepada saudara-saudaramu," ucap Ya‘qub dengan tatapan mendalam. "Karena tidak semua orang mampu mencintai kebenaran, bahkan jika kebenaran itu adalah darah dagingnya sendiri."

Yusuf mengangguk polos, belum sepenuhnya mengerti bahwa sebagian kasih akan menumbuhkan iri, dan sebagian saudara bisa berubah menjadi duri.



Di Balik Semak, Di Bawah Malam, Sebuah Rapat Gelap

"Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Jauh dari pandangan ayah mereka, di sebuah tempat yang tersembunyi dan sunyi, di balik rerimbunan semak dan bayang-bayang gelap malam, berkumpullah sekelompok saudara. Suara mereka ditekan pelan, namun bara di dada mereka membakar seperti api yang tertahan.

“Kenapa Yusuf dan adiknya lebih dicintai ayah kita?” bisik salah seorang dengan gigi terkatup, seolah cinta yang diberikan Ya‘qub kepada Yusuf adalah sebuah pengkhianatan.

“Padahal kita ini satu kelompok yang kuat. Kita dewasa. Kita lebih layak diperhatikan,” sahut yang lain, matanya memerah oleh api iri yang membakar dalam diam bertahun-tahun.

Diam-diam mereka menyudutkan sang ayah, seorang nabi yang mereka anggap telah terlampau buta oleh kasih sayang kepada dua anak dari ibu yang berbeda.

“Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata,” ujar mereka. Kalimat itu meluncur tajam, bukan hanya menggores Yusuf, tapi juga merobek kepercayaan kepada ayah yang selama ini membesarkan mereka dalam sabar dan cinta.



Api Kecemburuan Mencari Pelampiasan

Lalu seorang dari mereka melemparkan usul yang mencekam:
“Bunuh saja Yusuf.”

Kata-kata itu mengendap di udara, membeku dalam hening yang menegangkan. Sebagian terdiam, sebagian saling memandang, sebagian lainnya bergidik. Tapi yang berbicara tidak berhenti.

“Atau,” katanya, dengan nada lebih perlahan namun tetap mengancam, “buang saja dia ke suatu tempat yang jauh.”

Seseorang bertanya, “Mengapa?”

Jawaban itu keluar dengan kepastian yang dingin:
“Agar perhatian ayah tertumpah kepadamu. Supaya cinta yang selama ini menjadi milik Yusuf, kini menjadi milik kita.”

Dan dengan tambahan alasan yang mengejutkan, seolah ingin mencuci darah dengan kesalehan:
“Setelah itu… kita bisa menjadi orang yang baik. Kita bertobat.”



Namun Suara Nurani Menyela

Seseorang di antara mereka tiba-tiba bangkit dari diamnya. Hati nurani yang belum sepenuhnya mati berbicara, meski pelan.

“Janganlah kalian membunuh Yusuf,” ucapnya menahan napas, menahan ngeri.
“Masukkan saja dia ke dasar sumur…
Biarkan dia dipungut oleh musafir. Jika kalian memang harus berbuat, maka ini jalan yang lebih ringan.”

Perdebatan pun pecah. Di antara mereka ada yang ingin cepat menuntaskan rencana dengan kekerasan. Ada pula yang menyembunyikan rasa bersalah, namun takut dianggap lemah.

Setelah tarik-ulur, akhirnya suara yang menyarankan sumur itu diterima. Bukan karena belas kasih, tetapi karena terlihat lebih ‘bersih’. Tidak ada darah. Tidak ada tubuh. Hanya penghilangan.

Mereka sepakat.



Rencana Gelap yang Disusun Rapi

Angin malam berhembus kencang. Seperti ikut menyaksikan sekelompok manusia menutupi niat jahat dengan strategi dan sandiwara.

“Besok pagi kita minta izin kepada ayah,” kata salah seorang.

“Kita ajak Yusuf bermain bersama,” sambung yang lain.

“Lalu kita buang dia ke sumur tua itu… yang sepi dan tak berpenjaga.”

Rapat gelap itu ditutup dengan pandangan-pandangan saling menguatkan. Iri yang dibungkus logika. Kejahatan yang disamar dengan dalih kedewasaan dan rasa keadilan. Padahal semuanya berasal dari satu akar: hasad.

Mereka tidak tahu, rencana mereka bukanlah akhir dari kisah Yusuf. Tapi justru permulaan dari takdir agung yang ditulis oleh langit.


 "Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (551) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (241) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (506) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (229) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)